GJ Gersen dan Atoeran Boedjang Gadis

70
Ponton Penyeberangan di Sungai Lematang, 1910-1930 (www.collectie.tropenmuseum.nl)

Oleh FRIEDA AMRAN

Pada tahun 1868, pemerintah Hindia-Belanda membiarkan penduduk pedalaman Residensi Palembang mengatur kehidupan sosialnya sesuatu dengan aturan-aturan adat yang berlaku. Perkara-perkara kriminalitas dan pertikaian yang melibatkan orang di daerah pedalaman Palembang pun diselesaikan dengan berpanut pada aturan-aturan—sepanjang adat itu tidak bertentangan langsung dengan dasar-dasar hukum Barat.

SELAMA beberapa tahun, GJ Gersen bekerja sebagai pegawai Hindia-Belanda di Residensi Palembang. Pada saat menjalankan tugasnya, ia sengaja mengumpulkan dan mencatat aturan-aturan adat di daerah tempatnya bekerja.   Pada umumnya, adat di berbagai daerah di dalam wilayah Residensi Palembang dan daerah-daerah di perbatasannya yang masih merdeka (tidak termasuk dalam wilayah kekuasaan Hindia-Belanda) menunjukkan banyak persamaan. Namun demikian, tetap ada perbedaan-perbedaan di bagian-bagian tertentu. Gersen menekankan bahwa aturan-aturan adat yang dicatatnya adalah yang berlaku di daerah Lamatang Oeloe, Lamatang Ielir dan Pasemah. Kumpulan aturan-aturan adat yang disebutnya ‘Atoeran Boedjang Gadis’ berbunyi sebagai berikut:

  1. Jika seorang pemuda ingin menikah dengan seorang gadis, maka orang tua pemuda itu atau orangtua gadis itu wajib memberitahu niat itu secara terbuka kepada kepala kampung atau pasirah dalam sebuah sedekah kecil. Di Palembang dan daerah Pasemah, Pasirah adalah kepala marga atau distrik yang mengepalai 50 buah kampung atau lebih. Biasanya Pasirah itu bergelar Dipati. Di Pasemah, terkadang ada pula Pasirah yang menyandang gelar Pangerang dan Pangeran Toemenggong.
Baca Juga:  Mahasiswa Seluruh Indonesia Gelar “Wisata Jelajah Musi” Bersama Mang Dayat

Pada waktu sedekah tadi, pemuda yang berniat menikah itu memberikan uang sebesar satu mat Spanyol (sama dengan 8 real perak) kepada kepala dusun atau kepala kampung gadis yang hendak dinikahinya. Uang itu disebut ‘oepah toewa’.

  1. Pemberitahuan yang sama dengan di atas harus dilakukan bila seorang janda ingin menikah lagi. Dalam hal ini, kerabat janda itu atau kerabat calon suaminya yang wajib melakukan sedekahan pemberitahuan itu. Calon suami janda itu—perjaka atau duda—harus memberikan uang sebesar setengah mat Spanyol (sama dengan 4 real perak) kepada kepala dusun janda tadi. Pemberian ini dinamakan ‘pesaitan’.
  2. Seorang lelaki memberikan uang sebesar 45 mat Spanyol kepada calon mertuanya bila perempuan yang ingin dinikahinya masih perawan. Bila perempuan itu janda, jumlah uang hars diberikannya adalah 25 mat Spanyol. Uang ini disebut úang djoedjoer’.

Seandainya lelaki itu miskin, uang ‘djoedjoer’ itu dapat dilunasi secara bertahap. Bila lelaki itu meninggal dunia sebelum ia sempat melunasi uang ‘djoedjoer’ tadi, maka anak-anaknya, saudara-saudara kandungnya yang lelaki atau kerabat lainnya bertanggungjawab melunasinya. Kesepakatan seperti ini selalu dilakukan dengan kesaksian dan sepengetahuan para kerabat dan saksi-saksi.

  1. Seorang pemuda dapat menikahi seorang gadis atau janda tanpa membayar uang ‘djoedjoer’ bila hal itu disetujui oleh orangtua atau wali calon pasangannya. Dalam hal ini, pemuda itu disebut sebagai ‘kambil anak’. Ia wajib tinggal di rumah mertuanya atau wali isterinya dan wajib bekerja untuk mereka. Dalam perkawinan seperti ini, pemuda itu mengikuti isterinya; berbeda dengan perkawinan yang diuraikan sebelumnya: di sini, isteri yang yang mengikuti suami.
  2. Namun, bila kemudian, pemuda itu mampu melunasi uang ‘djoedjoer’ itu atau bila seorang anak lelaki lahir dari perkawinan itu dan anak itu tinggal menetap di dusun sang isteri, maka pemuda itu diperbolehkan kembali ke dusunnya sendiri dan isterinya wajib mengikutinya.
Baca Juga:  Festival Candi Bumi Ayu Resmi di Buka, Bupati Heri Amalindo Ajak Masyarakat  Jaga Cagar Budaya di PALI

Bila perkawinan itu menghasilkan lebih dari seorang anak, maka anak-anak itu dibagi di antara suami-isteri itu dan orangtua sang isteri. Atas mufakat bersama dengan kesaksian dan izin kepala kampung, kesepakatan lain dapat dibuat untuk mengatur hal ini.

  1. Setelah uang ‘djoedjoer’ dibayar lunas, maka ketika seorang lelaki meninggal dunia, isterinya wajib menikah dengan salah seorang saudara kandung lelakinya atau kerabat lain—bila hal itu diinginkan oleh salah seorang kerabat lelaki almarhum suaminya. Hal ini disebut ‘ángauw’. Lelaki yang menikahi janda itu wajib menerima dan mengasuh anak-anak yang ada.
Baca Juga:  Mang Dayat  Raih Anugerah Dari Pandu Tani Indonesia

 

Akan tetapi, bila janda itu mampu melunasi uang ‘djoedjoer’ yang seharusnya dibayarkan oleh almarhum suaminya, maka ia diperbolehkan kembali ke dusunnya sendiri. Ada pengaturan tersendiri untuk anak-anak yang terlahir dari perkawinan itu.

  1. Dua atau tiga hari setelah seorang gadis dibawa ke rumah seorang pemuda—yang disebut ‘larikan gadis’—orangtua gadis itu atau walinya akan mendatangi rumah pemuda itu. Ini disebut ‘nontonni’. Pada waktu itu, si pemuda memberikan uang sebesar satu mat Spanyol kepada orangtua atau wali calon isterinya. Pemberian ini disebut ‘reboetan dalem’ dan dianggap sebagai tanda janji bahwa uang ‘djoedjoer’ akan dilunasi.

Namun, bila gadis itu memiliki kakak perempuan yang belum menikah, maka pemuda itu wajib memberikan 4 mat kepada ibunda sang gadis. Pemberian ini disebut ‘plintissan’ dan merupakan semacam kompensasi karena sang adik telah lebih dulu menikah daripada kakaknya.

Pustaka Acuan:

GJ Gersen. “Oendang-oendang of Verzameling van Voorschriften in de Lamatang-Oeloe En Ilir en Pasemah Landen:van oudsher gevolgd, en door langdurig gebruik hadat of wet geworden” dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde. Vol 18. Batavia: Koninklijke Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. 1868. Hal 108- ...
Komentar Anda
Loading...