Selamana, Peladjoe dan Gombora

65

kapal_vocPADA tanggal 4 Juni, perahu-perahu Radja Akil dan kapal induk Belanda kembali. Pada tanggal 6 Juni mereka membuang sauh di dekat Selat Jarang dan Pulau Boeton (catatan FA: mungkin maksudnya, Pulau Beliton). Walaupun sebetulnya ada permukiman di tepian kiri dan kanan sungai di sekitarnya, tak sebuah rumah pun yang tampak. Ketika Belanda mengadakan ekspedisi militer sebelumnya, sebuah kampung terdapat di muara Selat Jarang. Ketika Belanda datang, warga kampung itu membakar habis dusunnya. Mereka sendiri pindah ke daerah di hulu muara sungai yang letaknya lebih jauh, tersembunyi, di pedalaman.

Dalam ekspedisi militer ini, Asisten-Residen Distrik Lampong,  du Bois, ditugaskan mendampingi Sultan. Du Bois dan sang Sultan tiba dan datang menghadap Jendral de Kock di atas kapal. Seorang lelaki pribumi juga datang bersama mereka. Lelaki itulah yang beberapa waktu sebelumnya diutus ke Palembang oleh Sang Jendral dan Soesoehoenang. Lelaki itu melaporkan bahwa di kota Palembang, tak banyak orang yang tahu bahwa Sultan dan Soesoehoenang ikut serta bersama ekspedisi militer Belanda itu. Hal ini memang ditutup-tutupi oleh Badar-Oedin.

Banyak hal yang dilaporkannya. Pertama, ia menyampaikan bahwa selang setiap hari, Badar-Oedin mendatangi pasukan-pasukan dan penduduk di sekitar benteng-benteng Peladjoe dan Gombora untuk membesarkan hati dan memberi mereka semangat. Badar-Oedin juga membagikan beras dan garam kepada penduduk di sana. Kedua, ia melaporkan bahwa delapan buah pertahanan telah dipancang di Peladjoe atas suruhan Pangerang Adipati Toea (adik lelaki Soesoehoenang). Dan, bahwa jalur layar di dekat Pulau Salanama telah ditutup sehingga tak dapat lagi dilalui oleh kapal-kapal yang berukuran besar. Setelah menyampaikan laporannya, lelaki itu segera berangkat, kembali ke Palembang.

Pada malam hari tanggal 8 menjelang 9 Juni, ketika armada Hindia-Belanda itu tiba di dekat Poeloe Semanding, tiba-tiba terdengar ledakan tembakan meriam. Beberapa kali. Air sungai bergolak karenanya dan kapal-kapal Belanda itu bergoyang-goyang hebat. Namun, tak satu pun kapal yang rusak terkena tembakan itu.

Baca Juga:  Dibalik Memburuknya Hubungan Palembang-Mataram

Pagi itu juga, Jendral de Kock memerintahkan Letnan Scheidius (pemimpin perahu perang Johanna) untuk meneliti kedua buah jalur pelayaran di sebelah barat dan timur Pulau Salamana. Menjelang siang, barulah perahu pengintai itu kembali. Letnan Scheidius melaporkan bahwa jalur pelayaran sebelah timur—yang dulu digunakan oleh ekspedisi militer sebelumnya—sudah ditutup oleh pasukan Sultan. Jalur pelayaran sebelah barat masih terbuka dan dapat dilayari. Sebetulnya tak ada data mengenai apakah perairan di jalur itu cukup dalam untuk dilalui kapal-kapal perang Belanda, namun tak ada pilihan lain. Jalur itulah yang masih tersedia dan hanya jalur itulah yang dapat digunakan.

Badar-Oedin—yang sangat piawai dan lihai (atau licik, di mata Belanda) pastilah terheran-heran melihat kapal-kapal Belanda mendekati pertahanannya melalui jalur pelayaran ini. Malam itu, pasukan-pasukan di armada Belanda kembali mendengar suara tembakan meriam. Ternyata meriam itu ditembakkan sebagai aba-aba bersiaga karena mereka mengetahui bahwa armada Belanda semakin mendekat.

Armada terdepan terdiri dari 12 buah kapal berbobot ringan. Masing-masing kapal itu dilengkapi dengan persenjataan dengan peluru berbobot 18 pon dan pasukan yang cukup banyak jumlahnya. Kapal-kapal itu terbagi ke dalam tiga divisi yang masing-masing dipimpin oleh Letnan van de Ende (dari Angkatan Laut), Letnan-Satu Halewijn (juga dari Angkatan Laut) dan Letnan-Dua Joly (juga dari Angkatan Laut).

Kapal-kapal ini diiringi oleh  kapal fregat van der Werff, kapal Elisabeth Jacoba (dengan kedua raja Palembang di atasnya), kapal Nassau, kapal-kapal korvet Ajax dan Zwaluwe. Armada itu ditutup oleh kapal-kapal pengangkut yang dilindungi oleh kapal korvet Venus, Het Zeepaard dan kapal Sirene.

Pada tanggal 10 Juni, kapal-kapal yang dipimpin oleh Kapten-Letnan Backer dan Letnan Scheidius serta Letnan Lejeune tiba. Mereka diiringi oleh kapal Johanna, lalu merapat sedekat mungkin dengan kapal-kapal lainnya di armada itu. Ketika air sungai pasang, semua kapal itu berlayar melewati perairan Salamana yang sempit itu, kecuali kapal fregat Dageraad.

Baca Juga:  Pujakesuma dan KPD Gelar Diskusi di Makam Ario Dilla

Keesokan harinya, pasukan-pasukan Sultan melepaskan tembakan-tembakan pertama ke arah armada Belanda itu. Tembakan-tembakan itu diarahkan ke kapal-kapal narinir yang ditugaskan melakukan pengintaian.

Jendral de Kock mengeluarkan perintah umum sebagai berikut:

  • Pemimpin ekspedisi militer berencana untuk menyerang pertahanan Sultan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya: hari dan waktunya akan ditentukan kemudian;
  • Kapal-kapal di dalam armada berlayar dalam urutan yang ditentukan: kapal-kapal Nassau, van der Werff, Ajax dan Venus mengambil posisi di depan dan sedekat mungkin dengan benteng besar di Peladjoe; kapal korvet Zeepaard dan dua kapal berbobot ringan berlabuh di dekat tiang-tiang pertahanan yang terdapat di air. Dua belas kapal pembawa meriam, yang selama ini ditugaskan sebagai penjaga gardu depan, kini ditempatkan—berdekatan satu sama lain–di depan pertahanan Gombora. Bila keadaan memungkinkan, pasukan-pasukan di kapal-kapal itu diperintahkan untuk menyerang dari samping atau dari belakang;
  • Kapal-kapal Sirene dan Zwaluw diperintahkan untuk menempatkan diri di antara kapal-kapal dagang yang berlindung di balik kapal-kapal yang lebih besar. Mereka bersiaga dan akan siap bertempur bila diperlukan. Kapal Johanna Elisabeth bersiap di belakang kapal Sirene dan Zwaluw—agak jauh—supaya mereka terhindar dari tembakan, namun cukup dekat sehingga tampak dari pertahanan Sultan. Perahu-perahu perang bersiaga di tengah-tengah jalur pelayaran, di antara dan di depan kapal-kapal dagang. Gerak dan aksi para pasukan di atas masing-masing kapal ditentukan kemudian;
  • Dari atas kapal, para penembak diharapkan sedapat mungkin membidik tepat ke arah lubang-lubang penembakan di benteng. Setelah itu, tembakan-tembakan berikutnya dibidik ke sasaran yang tepat. Jendral de Kock mengharapkan dan yakin bahwa penembak-penembak jitunya tidak akan membidik terlalu tinggi;
  • Setiap orang diharapkan mengingat bahwa posisi mereka di Sungai Musi jauh terpisah dengan gudang-gudang penyimpanan amunisi. Karena itu, semua orang—tanpa kecuali—harus berhemat-hemat menggunakan amunisi.
  • Setiap anggota pasukan diharapkan berusaha sebaik mungkin untuk memenangkan perjuangan. Nama orang-orang yang berprestasi dalam perjuangan itu akan dicantumkan di dalam laporan untuk Gubernur-Jendral di Batavia.
  • Walau pimpinan ekspedisi teramat menghargai semangat tak kenal lelah dari semua perwira, baik dari angkatan laut maupun angkatan darat, semua pihak diperingatkan agar berlaku santun dan tidak terbakar oleh emosi dan ambisi.
  • Keberhasilan ekspedisi militer ini hanya akan dapat dicapai bila dilakukan demi cinta dan kesetiaan kepada Raja dan Negara dan bila ada kerjasama baik di antara angkatan laut dan angkatan darat.
Baca Juga:  Orang Gunung di Banka

Tertanda di atas kapal fregat ZM van der Werff, 11 Juni 1821

Jendral-Mayor, pemimpin tertinggi Ekspedisi Palembang, de Kock.

Tak lama setelah maklumat di atas diumumkan, seorang demang—pengikut sultan yang baru—datang melaporkan bahwa di pagar pertahanan Salamana, orang Palembang telah menempatkan dua buah meriam. Jendral de Kock memerintahkan ajudannya, Letnan Lejeune dan Letnan artileri van Geen untuk mencek kebenaran laporan itu. Kedua ajudan itu berangkat dengan sebuah perahu bersenjata untuk merampas kedua meriam yang rupanya hanya dijaga oleh beberapa orang saja.

Meriam-meriam itu merupakan senjata berbobot 12 pon dan siap ditembakkan ketika kedua ajudan Jendral de Kock tiba di tempat itu. Dari tempat yang sama, kedua meriam itu sempat menghancurkan kapal Irene dalam pertempuran di tahun 1819.

Pustaka Acuan:

THS Leicher. Het leven en de lotgevallen van wijlen FP Leicher, Oost Indische Pionnier. Groningen: S. Barghoorn. 1843

Komentar Anda
Loading...