Anggaran Tidak Boleh Dipotong Seenaknya
Jakarta, BP
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menegaskan, pemerintah tidak boleh seenaknya memotong anggaran (APBN). Pemerintah harus mengajukan ke DPR RI. Jika pemerintah memotong tanpa lebih dulu mengajukan ke DPR, itu melanggar undang-undang (UU) dan bisa berimpliksi politik.
“Menkeu RI Sri Mulyani memotong anggaran sekitar Rp133 triliun, itu salah satu bukti pemerintah tak mampu mengelola negara dan pemerintak juga tidak kompeten sehingga langsung dikoreksi,’ ujar Fadli Zon di ruangan wartawan DPR RI, Jakarta, Kamis (11/8).
Menurut Fadli, pemotongan anggaran bisa berimplikasi luas terhadap perekonomian rakyat. Ekonomi rakyat bisa terpuruk lantaran kebijakan pemerintah pusat.
Pertumbuhan ekonomi yang dipatok 5,1%, kata Fadli, ternyata defisit negara Rp236 triliun, berarti negara rugi akibat penerimaan negara jauh dari target. Jika defisit lebih dari 3% PDB bisa melanggar UU. “Tax amnesty yang ditargetkan Rp165 triliun, yang masuk baru Rp300 miliar. Jadi, negara ini nafsu besar ingin membangun infrastruktur besar-besaran namun tidak punya duit. Hanya mengandalkan utang luar negeri. Kalau ini dibiarkan berbahaya,” kata Fadli.
Seharusnya, kata Fadli, pemerintah melakukan evaluasi terhadap program kerjanya. Misalkan pembangunan infrastruktur kereta api cepat untuk siapa, dan harus memiliki skala prioritas.
“Kalau negara punya duit bagus membangun kereta api cepat, kalau gak ada jangan dipaksakan. Uang itu bisa dialihkan untuk membangun sektor riil mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat,” tuturnya.
Dikatakan, postur perubahan APBN harus berorientasi pada politik anggaran ekonomi rakyat seperti pertanian, dan UKM. Tapi, pemerintah justru mem-back up ekonomi besar. Untuk itu DPR meminta pemerintah tidak memotong anggaran dana desa dan dana transfer daerah.
Ketua DPD RI Irman Gusman menegaskan, APBN itu potret kredibilitas negara sehingga perubahan sebaiknya dari awal untuk mendorong pertumbuhan (stimulus) ekonomi rakyat, sesuai kebutuhan dasar masyarakat.
Hanya saja kata Irman, APBN bukan sebagai sumber dana untuk pembangunan. Sebab, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi harus didorong dengan industrialisasi, investasi, kreatifitas dan inovasi untuk meningkatkan pembangunan. “Jadi, utang tidak masalah sepanjang dimanfaatkan ke sektor produktif,” tambahnya.
Irman berharap dalam penyusunan APBN ke depan, pemerintah melibatkan DPR dan DPD RI. Dan sudah saatnya kita tidak tergantung kepada APBN dan APBD.
“Selama ini pengelolaan APBN masih secara tradisional. Padahal, dana transfer darah Rp62 triliun dan dana desa Rp46 triliun bisa mendorong pergerakan ekonomi rakyat jika dikelola dengan baik dan transparan,” kata Irman.
Ditambahkan, mengelola APBN sama dengan mengelola anggaran rumah tangga, yang bisa turun dan naik. Untuk itu, APBN harus lebih proporsional.
Pembangunan infrastruktur, lanjut Irman, harus realistis, bisa mendorong ekonomi dan pendidikan di pedesaan. Kebijakan pemerintah pusat juga harus sesuai dengan daerah masing-masing.
Direktur Eksekutif INDEF Enny Sri Hartati menyatakan, kalau setiap tahun ada perubahan akibat unsur eksternal, ke depan tidak perlu APBN, karena yang penting merealisasikan janji Presiden RI. “Jadi, membahas APBN itu harus hati-hati meski ada target tax amnesty Rp 165 triliun, sedangkan defisit Rp 233 triliun, kalau mencapai target pun, tetap akan defisit. Aset di luar negeri hanya Rp5.000 – Rp6.000 triliun, tapi yang di bank hanya 30% atau sekitar Rp2.000 triliun. Itu kalau ditarik semua,” ungkap Enny. #duk