Mengakhiri Keterbelakangan di Abad Kepalsuan

15

Oleh ADE FAJRI
Direktur Utama Fasco Unsri 2019 Penerima Manfaat Beasiswa Generasi Harapan dari Sinergi Sriwijaya

TAHUN 2019 berakhir. Tahun 2020 mengetuk pintu di depan mata. Banyak hal telah terjadi dan terlampaui, banyak yang selalu bisa kita pelajari. Sebuah kesalahan pasti terjadi, namun kemampuan untuk terus belajar selalu terbuka dari berbagai kemungkinan baik di masa depan.
Di abad ini, kita dihadapkan dengan dunia yang penuh ketidakstabilan akan kejujuran, atau bisa kita sebuh dunia yang penuh kepalsuan. Apa yang tampak tak sesuai dengan apa yang terdapat didalam dan aslinya. Kebanyakan orang memakai topeng yang berlapis dan hidup mereka penuh dengan penderitaan serta kemunafikan.
Manusia palsu akan bermunculan di abad ini, yang bermulut manis namun berhati dengki. Tampilannya menarik namun pikiran buruh dan penuh dengan ambisi yang merusak. Terlihat suka menolong dan baik hati. Naum, semua itu dilakukan untuk meningkatkan pamor “politik” mereka belaka. Nihil akan ketulusan di dalamnya.
Bahkan, fisik pun mereka manipulasi, sekedar untuk meningkatkan pamor. Tak heran, operasi plastik kini semakin menjamur. Penampilan yang dilihat sesama diubah, sehingga bisa mencapai ukuran menarik berpenampilan yang dibuat oleh pasar.
Tidak hanya tubuh atau fisik, pikiran pun kini penuh dengan manipulasi. Orang cenderung sulit untuk berpikir mandiri, karena tekanan sosial dari segala arah kemungkinan, mulai dari keluarga, teman sampai masyarakat secara umum. Orang dibuat takut dalam mengutarakan keberanian untuk berkata “tidak” pada kekuatan-kekuatan yang menjajah pola pikir mereka. Alhasil, pikiran mereka adalah pikiran massa, tanpa kerasionalan dan keaslian yang memadai.
Ketika tubuh dan pikiran kehilangan akan kesehatan dan keorisinilannya, maka muncullah berbagai bentuk kepalsuan dalam kemasyarakatan. Kita akan menemukan politisi yang korupsi dan rakus akan kekuasaan. Kita akan menemukan guru, tokoh masyarakat dan pemuka agama yang menyebarkan ajaran-ajaran radikal, serta memperbodoh pola pikir masyarakat dan lingkungan. Kita bahkan pada akhirnya menemukan seorang dokter yang menipu pasien dengan obat-obat mahal hanya sekedar untuk kepuasan akan harta dari dirinya.
Ada beberapa kepalsuan yang begitu kuat dan tersebar di abad ini, setidaknya ada lima hal yang kiranya penting untuk diperhatikan. Pertama, kita hidup di zaman yang serba kompetitif. Dalam hal yang sederhana sekalipun, kita dituntut untuk terus berkompetisi. Untuk mencari nafkah sederhana pun kita harus berkompetisi. Sistem ekonomi-politiklah yang telah melahirkan iklim kompetisi seperti ini.
Dua, setelah membicarakan sistem yang kompetitif maka kita akan berbicara tentang akar dari kompetisi itu sendiri, adalah perbandingan. Kita cenderung untuk terus membandingkan diri kita dengan lingkungan. Hal seperti ini akan berlangsung dalam seluruh aspek bidang, dan melahirkan banyak ketegangan, bahkan konflik yang tak perlu. Tak heran, banyak orang hidup dalam kepalsuan hanya sekedar untuk memenangkan sebuah kompetisi semu dalam perbandingan yang juga semu terhadap orang lain.
Tiga, sosial media adalah ajang deskripsi eksistensi kehidupan manusia. Kita seolah hidup di dua dunia, dunia maya dan dunia nyata. Dua hal yang tak terpisah dalam menggambarkan “siapa saya”. Orang akan mengumbar hidup pribadinya yang telah dipoles cantik di setiap detik kehidupannya. Mereka akan terus saling membandingkan kehidupan masing-masing setiap saat. Segala bentuk cara-cara oalsu pun ditempuh untuk memoles kehidupan, agar terlihat hidupnya lebih baik dari orang lain.
Empat, memang, akar dari semua ini adalah lemahnya kepribadian manusia itu sendiri. Orang tak memiliki nilai dan arah yang jelas dalam menjalani kehidupannya. Orang terus diperbudak dengan tekanan sosial masyarakat, pikiran dan emosi. Alhasil, orang akan mudah terlihat sukses dan bahagia di mata masyarakat, namun hidup dalam derita tiada tara di ujung kamar-kamar pribadinya.
Lima, sistem pendidikan yang rusak berperan besar dalam menciptakan masalah-masalah ini. Di Indonesia sendiri, pendidikan membunuh akal sehat, dan hanya menekankan pada kepatuhan buta yang serba formalitas serta hafalan dangkal. Bentuk pendidikan seperti ini akan menciptakan manusia-manusia yang cacat yang tak mampu menangkap keluasan serta kebahagiaan hidup yang sesungguhnya.
Kebahagiaan pun pada akhirnya dicari di luar diri dalam bentuk harta dan kuasa. Maka dari itu kompetisi lalu menjadi jalan tol untuk mencapai kebahagiaan. Kepalsuan tubuh dan pikiran pun tercipta, tersebar dan dirayakan dalam berbagai bentuk sebagai hal yang ideal.
Melampaui kepalsuan dan memperbaki sistem pendidikan serta pola pikir adalah cara untuk keluar dari abad kepalsuan semacam ini. Pertama kita perlu mengubah cara berpikir kita tentang kompetisi. Di dalam hidup, tidak ada kompetisi. Kita hanya perlu melakukan yang terbaik dalam versi kita sendiri, dan stop untuk selalu membandingkan dengan versi orang lain.
Dua, yang dibutuhkan sebenarnya adalah kooperasi, sebuah kerja sama. Dengan kerja sama manusia akan dapat mudah mewujudkan hal-hal hebat dalam hidupnya. Kerja sama akan terjadi, jika setiap orang mengolah keunikan mereka masing-masing menjadi sebuah kenyataan dan dipadukan dalam kolaborasi kebaikan. Perbandingan pun lalu menjadi tidak masuk akal, karena setiap orang, sejatinya adalah unik.
Tiga, sikap kritis dan bijak dalam mengelola media, terutama media sosial, mutlak diperlukan. Begitu mudah sekarang, berita-berita palsu dan kebohongan tersebar dengan cepat melalui media. Begitu banyak fitnah dan propaganda terkandung di dalamnya. Tanpa sikap kritis dan kebijaksanaan dalam mengelolanya, kita akan mudah dipecah belah oleh kepentingan busuk.
Empat, pendidikan yang utuh secara keseluruhan. Dua hal sekiranya yang perlu kita perhatikan disini, yakni pendidikan akal sehat dan pendidikan kesadaran. Akal sehat akan membantu kita dalam membuat keputusan-keputusan yang waras dalam menjalani kehidupan. Kesadaran akan membantu kita dalam mengolah emosi dan pikiran, agar nantinya tidak mengarah pada penderitaan yang berlebihan.
Jiwa empat hal diatas dilalukan secara menyeluruh, maka akan menciptakan sebuah masyarakan yang autentik. Masyarakat semacam ini akan mengutarakan kebaikan dan tidak menyembunyikan kebenaran demi tampilan luar yang memikat, namun menipu. Kerja sama dan keunikan akan dirayakan lebih daripada kompetisi semua yang merusak. Kesempatan berubah masuh ada. Waktu tidak perlu kita ubah menjadi medium abad kepalsuan manusia, tetapi kita dapat mengubahnya menjadi abad autentisitas. Semuanya tergantung pada keputusan-keputusan yang kita ambil.#

Komentar Anda
Loading...