Warisan Terakhir Kyai Mal An Abdullah
OLEH : KEMAS KHOIRUL MUKHLIS
Meninggalnya seorang ulama adalah musibah yang tak tergantikan, sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal, laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih ringan dari meninggalnya satu orang ulama.” (HR Ath Thabrani dalam Mujam al-Kabir dan Al Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman dari Abu Darda’)
Minggu malam (25/5) lalu, kali terakhir menatap langsung wajah yang penuh keikhlasan tersebut. Selesai acara istigotsah di kantor PWNU Sumsel, saya dan KH Hendra Zainuddin Al Qodiri serta Kyai Mal An Abdullah sudah berencana untuk makan Mie Agam di kawasan bandara, sekalian pulang tentunya.
Beliau duluan masuk mobil, terdengar beliau bersuara, “Mukhlisnya mana,” yang mungkin karena melihat saya belum ikut masuk mobil. Berangkatlah kami bersama-sama dalam satu kendaraan. Sepanjang perjalanan banyak yang kami bahas dalam kondisi rileks dan Santai.
Teringat PWNU belum diterima audiensi dengan Pangdam II Sriwijaya, Kyai Mal An mengambil HP dan rupanya menelepon Pak Hindra Lily yang merupakan salah satu tokoh agama Budha. Dalam pembicaraan terdengar jika Pak Hindra Lily yang akan membantu menghubungi pihak Kodam.
Sampai di tempat Mie Agam persis seberang jalan hotel berbintang di kawasan dekat Bandara, kami semua berkelakar sambil melihat-lihat daftar menu. Akhirnya Kyai Mal An memilih mie aceh dan diikuti oleh Kyai Hendra, saya dan Kyai Soni yang dapat belakangan. Baru tahu juga kalau Kyai Mal An tidak mau mengkonsumsi telur.
Sambil menikmati sajian mie, kami bercerita kadang serius dan kadang ada candanya. Saya juga sempat bertanya terhadap hukum membuang makanan. Karena sebelumnya owner tempat kami makan bercerita kalau mie yang mereka buat itu segar dan jika tidak terjual maka akan dibuang pada malam harinya. Beliau juga sempat bercerita tentang KH Sahal Mahfudh yang merupakan mantan Rois Aam PBNU.
Saat pulang, saya yang mengantar Kyai Mal An ke rumah beliau di kawasan Kebun Bunga. Rumah yang terlihat asri dan bersahaja, sama dengan karakter Kyai Mal An. Saya dan anak saya yang menyetir mobil turun untuk ikut membukakan pagar rumah, namun beliau duluan membuka sendiri. Setelah yakin beliau masuk rumah, kami melanjutkan perjalanan pulang.
Keesokannya, mendapat kabar beliau dilarikan ke Rumah Sakit. Padahal pagi harinya masih sempat menghadiri acara PW Muslimat NU di Kantor NU. Dan takdir berbicara lain, dua malam dirawat akhirnya Allah SWT memanggil beliau. Husnul Khotimah.
Dalam tausyiah Kyai Mal An malam istigotsah tersebut, banyak mengulas mengenai slogan “NU Sumsel Satu Khidmat”. Detil beliau menjelaskan makna khidmat dari segi bahasa dan penyebutan. Menurut beliau warga NU se Sumatera Selatan harus memiliki satu kesatuan dalam berkhidmat dan membesarkan NU itu sendiri.
Sebelumnya, dalam rapat PWNU Sumsel 9 Mei lalu Kyai Mal An mengeluarkan slogan NU Sumsel Satu Khidmat. Kalau PBNU ada slogan Merawat Jagat Membangun Peradaban, maka hal ini menurut beliau harus diimplementasi di semua tingkatan. Saya sendiri langsung merasa kagum dengan usulan kalimat slogan tadi. Simple namun penuh makna yang mendalam.
Dalam rapat juga saya kemukakan akan mewujudkan slogan tadi dalam bentuk visual. Saya tepati janji, sore hari visual saya selesaikan dan rupanya banyak mendapat atensi. Sehingga akhirnya dibuat baju kaos NU Sumsel Satu Khidmat.
Orang hebat pasti akan meninggalkan warisan, dan slogan ini merupakan warisan terakhir Kyai Mal An untuk Nahdlatul Ulama. Kalimat yang singkat namun berisi muatan semangat untuk mengabdikan diri serta berkhidmat demi Nahdlatul Ulama. Apalagi Khadratusy Syaikh Hasyim Asyari sendiri pernah mengungkapkan barang siapa yang mau mengurus NU akan dianggap sebagai santrinya. Slogan karya Kyai Mal An tadi merupakan perwujudan kepedulian beliau terhadap NU sampai menjelang akhir hayat.
Selamat Jalan Kyai Mal An, pesan-pesanmu akan selalu kami patuhi. Kami akan berkhidmat bersama Nahdlatul Ulama tanpa pamrih apapun kecuali menjaga ahlussunnah wal jamaah serta menjaga NKRI. (***)