Pers Sumatera Selatan, Pers  Perjuangan 1925- 1950 (Bagian Enam )

83

 

 

Oleh: Dudy Oskandar (Jurnalis, Peminat

Sejarah Sumatera Selatan )

 

#Warta Palembang, Surat Kabar Pertama Di Palembang

PERKEMBANGAN  pers di Indonesia tak bisa dilepaskan dari situasi sosial politik maupun kebudayaan yang sedang berlangsung pada setiap masa. Kondisi ini terlihat darizaman pemerintahan kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang hingga sekarang.

Pada zaman Hindia Belanda, pers dikendalikan oleh pemerintah kolonial dengan berbagai peraturan. Pada tahun 1856 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan peraturan  pertama  mengenai pers yakni Reglement op de Drukwerken in Nederlandsch-Indie.

Peraturan ini mengharuskan pengiriman semua karya cetak sebelum diterbitkankepada kepala pemerintahan setempat, kepala justisi dan Algemene Secretarie.

Kalau ketentuan ini dilanggar  karya cetak itu akan disita percetakan atau tempat menyimpan barang cetak itu disegel.

Pada tahun 1906 peraturan  itu diubah dengan ketentuan bahwa penyerahan barang cetak itu dilakukan dalam waktu  24 jam setelah barang tersebut diedarkan. Pelanggaran ketentuan ini dikenakan denda.

Saat pemberlakuan Wetboek van Strafrecht van Nederlands-Indie pada 1918 terdapat ketentuan mengenai tindakan terhadap  pers berdasarkan Haatzaai Artikelen yakni pasal-pasal 154, 155, 156 dan 157.

Baca Juga:  Di Pilkada Sumsel 2020 Hanya Kalah di OI, Muratara dan Mura, PBB Sumsel Klaim Sudah Maksimal

Pasal-pasal ini mengancam hukuman kepada siapa pun yang menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan  terhadap pemerintah Belanda atau Hindia Belanda dan terhadap sesuatu atau sejumlah kelompok  penduduk di Hindia Belanda.

Pada  1931 pemerintah kolonial menerbitkan Persbreidel Ordonnantie yang memberikan hak kepada Gubernur Jenderal untuk melarang penerbitan tertentu yang dinilai bisa mengganggu ketertiban umum.

Pada masa Hindia Belanda terdapat penggolongan masyarakat berdasarkan ras yakni adanya golongan penduduk Belanda atau Eropa, Timur asing, (Tionghoa, Arab dan India) dan pribumi yang terdiri atas berbagai suku. Kondisi pers pun mencerminkan struktur masyarakat majemuk yang ada pada masa itu.

Pers menggunakan bahasa yang berbeda untuk menyampaikan  berita dan pendapat  yang berbeda yang tak jarang merupakan suara pendukung berbagai ideologi. Pada masa itu dikenal adanya pers Belanda  Melayu, Tionghoa dan Indonesia .

 

Kota Palembang merupakan salah satu kota tertua dan menyimpan banyak sejarah dari berbagai aspek, baik sosial, ekonomi, politik, serta budaya.

Baca Juga:  Penjual Sabu Sempat Buang Barang Haram Ke Selokan Saat Ditangkap Polisi

Palembang  memiliki populasi lebih dari 750.000  pada tahun 1913.  Dari jumlah ini populasi orang Cina  sekitar 7.000 dan Eropa dan sekitar 1.000.  Sedangkan orang-orang Arab dan India hanya berjumlah kurang dari 4.000.

Pada masa Kolonial Belanda hingga pra-Orde Baru (1900 M-1965 M) di Kota Palembang khususnya, sudah ada banyak media pers yang terbit sebagai pers lokal, di antaranya Perjta Selatan, Duta Masyarakat (yang sebelum Orde Baru bernama Batang Hari Sembilan), Fikiran Rakyat , Obor Rakyat, Panji Revolusi,

Surat kabar pertama di Palembang adalah “Warta Palembang” yang terbit dwimingguan sejak tahun 1912.

Surat kabar ini diterbitkan oleh perkumpulan Tjahaja Boedi dengan Raden Nongtjik sebagai editor. Sebagaimana surat kabar di provinsi lain, mengingat pula surat kabar ini adalah terbitan suatu organisasi masyarakat, peredaran Warta Palembang terbatas di sekitar keresidenan Palembang.

Baca Juga:  Saksi Ahli  Dewan Pers: Somasi Adalah Ancaman Terhadap Pers

Organisasi masyarakat pun tumbuh di Palembang. Pada tahun 1908, para guru dan pegawai mendirikan perkumpulan Kaoem Setia, kemudian disusul dengan pendirian perkumpulan Tjahaja Boedi.

Seperti kebanyakan perkumpulan lainnya, organisasi mereka cenderung bersifat terbatas dan berfungsi tak lebih dari sekadar kelompok sosial.

Perkumpulan-perkumpulan itu mendorong para anggota untuk mendirikan perpustakaan serta mempromosikan kebiasaan membaca surat kabar dan majalah. Eksistensi Warta Palembang hingga tahun 1914 menunjukkan bahwa perkumpulan Tjahaja Boedi cukup aktif.#

 

Sumber:

  1. Adam, Ahmat. B. “The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian Consciousness (1855-1913)”. Ithaca, NY: Cornell University Press, 1995. hlm. 151-152.
  2. Perkembangan Pers di Indonesia, Bahan kuliah: Manajemen industri media cetak Dosen: Wahyudi M. Pratopo

 

 

Komentar Anda
Loading...