Rentetan Malapetaka di Banka

40
Jalan menuju Belinjoe, Banka, 1909-1915 (www.collectie.tropenmuseum.nl)

Penduduk Minto tidak mengalami derita diserang oleh orang Lanon seperti penduduk di daerah-daerah lain di Pulau Banka. Malapetaka lain—yang menunjukkan ketidakpedulian Palembang atas nasib orang Banka—menimpa mereka.

Oleh FRIEDA AMRAN

TAK lama setelah orang Lanon menyerang daerah-daerah di sebelah selatan Pulau Banka, hampir separuh penduduk Minto—terutama keluarga-keluarga yang terkemuka—meninggalkan kampong halaman mereka dan pindah ke Linga. Perpindahan itu merupakan reaksi atas perlakuan semena-mena terhadap Abang Tawi, seorang tokoh terkemuka yang merupakan keturunan langsung  dari keluarga-keluarga pendiri Minto. Ia sangat dihormati oleh penduduk di sana. Suatu saat, Abang Tawi dituduh melakukan suatu pelanggaran hebat. Ia dipanggil untuk menghadap yang berwenang di ibukota. Tanpa proses pengadilan sama sekali, ia dihukum mati sebagai sanksi atas pelanggaran yang dilakukannya. Hukuman mati yang mengerikan langsung dilaksanakan pada saat itu juga. Sebal dan marah atas penghukuman semena-mena itu, semua kerabat dan handai-taulannya memutuskan untuk meninggalkan Minto and mengucilkan diri secara sukarela di tempat lain.

Malapetaka lain di Minto lebih jelas menunjukkan ketidakpedulian Sultan Plembang terhadap masalah-masalah di Banka. Seorang kerabat dekat Sang Sultan yang bernama Raden Japhar melarikan isteri lelaki lain. Tentunya ia diancam dengan sanksi hukuman. Diam-diam, ia meninggalkan ibukota dan pergi ke Linga. Di sana, ia mendapatkan perlindungan dari raja Linga yang bermusuhan dengan Sultan Plembang. Raja Linga memperkenalkan Raden Japhar dengan Panglima Raman, yang sesekali masih tinggal di Koba.

Baca Juga:  Forum Peduli Cagar Budaya Terbentuk di Palembang

Beberapa kali, kedua lelaki itu merompak bersama, lalu mereka memblokade pesisir barat Pulau Banka. Untuk menjalankan blokade itu, mereka menduduki suatu tempat di gugusan pulau-pulau Nangka. Dari tempat ini, mereka menangkapi semua kapal yang melewati daerah itu atau yang berusaha meninggalkan muara sungai Plembang. Sekitaran saat ini pula, mereka bersama-sama menyerang benteng di Jebus.

Kedudukan sosial Japhar cukup tinggi sehingga tidak ada pertentangan sama sekali dari penduduk Jebus, baik dari warga Cina, Melayu atau pun orang asli. Mereka dengan mudahnya dapat merampas banyak simpanan timah dan barang-barang berharga di dalam benteng pertahanan itu. Tak lama kemudian, Japhar dan Panglima Raman bertikai memperebutkan sesuatu (menurut Horsfield, keterangan mengenai pertikaian ini dapat ditelusuri lagi dari hikayat-hikayat Jawa. Horsfield tidak memberikan keterangan yang lebih detil). Japhar memisahkan diri dan pergi ke Kesultanan Kedah. Sepulangnya, ia menetap di Minto. Di sini, ia menantang sultannya (di Palembang) dengan menduduki benteng Bintang Saribu. Ia berkuasa semena-mena terhadap warga yang tinggal di dalam lingkungan benteng itu.

Japhar memanggil semua orang yang menjabat sebagai pemimpin dan kepala di permukiman-permukiman yang paling jauh. Mereka sebetulnya bekerja di bawah tanggung jawab orang-orang yang ditugaskan Sultan untuk mengurus administrasi pertambangan. Dengan berbagai ancaman dan tindak kekerasan, Japhar memaksa para kepala itu untuk menyerahkan segala timah yang berhasil ditambang dan segala uang yang telah diperoleh. Segala usaha—tindak kekerasan dan penyiksaan—dilakukannya untuk menemukan tempat-tempat persembunyian barang-barang berharga itu. Banyak warga yang tewas karenanya, pada waktu ini. Ketika Horsfield mengunjungi daerah itu, warga setempat masih dapat menunjukkan tempat-tempat penyiksaan yang selalu dilakukan pada malam hari oleh kaki-tangan Japhar.

Baca Juga:  Orang Laut

Ada kemungkinan bahwa kendala-kendala yang menghambat datangnya bantuan perbekalan dari Palembang juga menghambat bantuan dan campur-tangan dari Palembang untuk menghentikan kekejaman  Japhar. Bantuan dari Batavia pun tak datang—dan ini kemungkinan dikarenakan oleh sedikitnya timah yang dapat diperoleh dari Banka pada waktu ini. Lagipula, pemerintah jajahan di Batavia mengira bahwa Japhar melarikan diri karena seorang pegawai Inggris menjadi salah seorang korbannya. Walaupun demikian, tindak-tanduk Japhar telah menarik perhatian di Batavia maupun di Palembang dan mulai pula menjadi bahan pembicaraan. Sebuah komisi bertemu di Palembang dan Banka pada tahun 1802. Acara ini membangkitkan kecurigaan Japhar. Ia melarikan diri ke daerah pengunungan dan berusaha menetap di Banka Kutto. Tidak lama. Dengan alasan hendak naik haji, ia mempersiapkan perjalanan ke Mekkah. Namun, entah bagaimana, niatnya tak sampai. Japhar tewas di perairan di dekat Banka.

Baca Juga:  GJ Gersen dan Atoeran Boedjang Gadis

Berentet malapetakan yang menimpa Pulau Banka dan warganya. Akan tetapi, masih ada dua hal yang membuat penduduk pulau itu menderita sehingga jumlah penduduknya pun jauh berkurang.

Para perompak tidak hanya merampok dan membegal daerah pantai saja. Aksi mereka sampai pula ke daerah pedalaman. Tanpa diduga-duga, mereka menyergap orang-orang yang sedang bertani dan bekerja di ladang dan perkebunan. Jika orang-orang itu melarikan diri, sawah dan ladang dengan padi yang acapkali siap dipanen, dihancurkan begitu saja. Bantuan perbekalan dari Palembang tertahan di pantai oleh para perompak itu. Di musim-musim tanam yang baik pun, sebetulnya hasil panen padi di Banka tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan pendudukannya sehingga bantuan perbekalan dari Palembang betul-betul diperlukan. Selain padi, penduduk di Banka tidak terbiasa menanam tanaman pangan lainnya yang dapat menggantikan beras sebagai makanan pokok. Tak mengherankan bahwa bahaya kelaparan mengancam penduduk Banka. Banyak orang (berusaha) meninggalkan Banka untuk menghindari para perompak dan bahaya kelaparan itu. Banyak pula orang yang memilih untuk menjadi budak saja (karena sandang, pangan dan papan seorang budak kerap menjadi tanggung jawab majikannya).#

Pustaka Acuan:

Thomas Horsfield, M.D.  “Report on the Island of Banka,” dalam The Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia. Vol. 2. Tempat-tahun (hal. 299 – ..)

Komentar Anda
Loading...