Sekilas Tentang Asal Usul Marga Sakotigo dan Rumah Pangeran Syafi’i

1,112

Oleh: Dra Isnayanti Syafrida, M.Si (ASN

Dinas Kebudayaan Kota Palembang)

 

 

Asal-usul Desa Sakatiga Sakatiga (dialek lokal: Sakotigo;Saketige) adalah nama desa yang berada di Kecamatan Indralaya (Indrolayo), Kabupaten Ogan Ilir, Sumatra Selatan, Indonesia.

 

Berdasarkan sejarah yang disalin oleh Abdul Wahab Sja’roni dari tulisan ayahnya Pangeran Depati Syafi’I Djayadiningrat pada 18 November 1929, asal mula desa Sakatiga merupakan perpaduan dari tiga orang dari suku yang berbeda, yaitu: Puyang

 

 

Sebetung dari Suku Penesak, Puyang Sangtiko dari suku Belida dan Puyang Bakaliantang berasal dari suku Jawa-Mataram Kuno. Penduduk keturunan suku Belida mendiami sebelah ilir dari sungai Ogan, Keturunan suku penesak mendiami sebelah Ulu sungai Ogan dan suku Jawa mendiami bagian tengah.

 

Setelah Puyang Bakaliantang menghadap Sunan Palembang, maka dengan restu Sunan dibentuklah nama dusun dengan Sukutiga yang dipimpin oleh Bakaliantang sebagai yang dituakan dan dibantu oleh Sebetung dan Sangtiko.

 

Beberapa tahun kemudian, ketiga tokoh (Sebetung, Sangtiko dan Bakaliantang) mendirikan Dusun Lubuksakti yang dipimpin oleh Lurah Jagur dan Dusun Inderolayo. Lalu menyusul Dusun Ulakbedil (pecahan dari Sungai Keroi Musi).

 

Setelah ketiga tokoh tersebut meninggal dunia, maka yang mula-mula menjadi Pesirah di Marga Sakotigo adalah Depati Mentok sampai meninggal dunia, lalu Pesirah Sakotigo diganti oleh Aliadin, dilanjutkan oleh Depati Djalal (ketiga Pesirah bukan keturunan; semuanya orang lain).

Baca Juga:  TNI AU Turunkan Paksa Pesawat Asing Lewati Batas Wilayah

 

Berikut pada tahun 1870, yang menjadi Pesirah Sakotigo adalah Haji Menteri yang merupakan keturunan dari Bakaliantang.

 

Setelah Haji Menteri habis masa jabatan pada tahun 1902, Pesirah Sekotigo diganti oleh anaknya, Hanafi dengan gelar Depati Jayawikrama hingga akhir masa jabatan pada tahun 1925. Selanjutnya, Marga Sakotigo dipimpin oleh Sjafi’i dengan gelar Pangeran Syafi’i Depati Jayadiningrat yang merupakan anak dari Hanafi.

 

Jadi, Pangeran Syafi’i adalah cucu dan Pangeran Depati Haji Menteri. Pangeran Depati Syafi’i Djayadiningrat adalah Pesirah Marga Sakotigo yang disahkan melalui Besluit Kanjeng Tuan Besar Residen Palembang No. 1670, pada tanggal 26 November 1925. Gelar Pangeran Jayadiningrat dianugerahkan padanya melalui besluit No. 628 tanggal 27 Agustus 828. Selanjutnya, pada tanggal 26 Agustus 1941, Besluit No. 41, pangeran Syafi’i dianugerahi Bintang Kecil.

 

Rumah Pangeran Syafi’i Setahun sebelum menjabat Depati, Syafi’i mendirikan rumah yang berada di pinggir jalan lintas pada tahun 1924 (tidak jauh dari simpang Tanjungsenai yang dibangun oleh Pemerintah Oganilir).

 

Pangeran Syafi’i menggunakan rumah bertangga siput ini sepanjang waktu dia menjabat menjadi Depati hingga akhir hayatnya pada tahun 1978. Beliau wafat di Palembang dan dimakamkan di pemakaman keluarga dekat makam Raja Palembang Sido Ing Rejek, Desa Sakotigo.

Baca Juga:  DPRD Sumsel Kecewa, Rapat Sengketa Pulau Kemaro Ternyata Pemkot Palembang  Kirim Perwakilan Tanpa Surat Kuasa

 

 

 

Tentu banyak sekali peristiwa dalam kegiatan adat dan pemerintahan Marga Sakotigo yang terjadi di rumah ini. Ruang-ruang rumah Pangeran Syafi’i menjadi saksi bisu segala kegiatan yang dilakukan oleh Pangeran Syafi’i semasa menjabat sebagai Pesirah Marga Sakotigo.

 

Keris Pusaka Pangeran Depati Syafi’i Pesirah Marga Sakotigo. (BP/IST)

Ruang depan yang berada di sisi kanan rumah, umpamanya, di tempat itu, merupakan ruang kerja Pangeran. Sedangkan ruang tengah digunakan oleh pangeran untuk menerima tamu-tamu penting, seperti para pembesar Hindia Belanda dari Palembang, pimpinan Marga, dan orang penting lainnya.

 

Menurut Undang-undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, sebuah bangunan untuk bisa ditetapkan sebagai situs cagar budaya harus memenuhi kriteria berusia 50 tahun atau lebih, mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun, memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan, serta memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa. Dengan demikian, Rumah Pangeran Depati Syafi’i yang telah berusia 98 tahun ini telah melebihi ketentuan waktu 50 tahun sebagaimana kriteria undang-undang cagar budaya.

 

Selain itu, rumah ini juga memiliki nilai sejarah dan budaya sebagai tempat aktivitas Pangeran Syafi’i dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan dan adat istiadat.

 

Untuk itu, patut rumah ini dikategorikan sebagai rumah yang layak diajukan menjadi Bangunan Cagar Budaya. Selain itu, melihat sejarahnya, rumah Pangeran Syafe’i ini dapat difungsikan sebagai museum kabupaten Oganilir

Baca Juga:  Polda Sumsel Gelar Apel OMB di BKB

 

Desa Sakatiga Sebagai Basis Pertahanan Kerajaan Palembang Semasa peperangan dengan pemerintahan Hindia Belanda (1659), Raja Palembang, Pangeran Jamaluddin Amangkurat VI (setelah meninggal disebut dengan Sido Ing Rejek) menyingkir ke desa Sakatiga dan sekitarnya.

 

Menurut Damhuri, seorang tetua adat di Sakatiga kepada Majalah Lentera Pendidikan (baca: https://id.wikipedia.org/wiki/Sakatiga,_Indralaya.Ogan_Ilir), Pusat daerah pemerintahan darurat negeri Palembang bertempat di desa Muarameranjat, sedangkan para putri raja dan dayangnya diungsikan ke desa Pondok Mandiangin dan Tanjungdayang yang terletak di hulu sungai Ogan, melintasi desa Muarameranjat.

 

Selama peperangan, desa Sakatiga merupakan ring kubu pertahanan ke tiga yang dipimpin langsung oleh Sido Ing Rejek, sedangkan ring kubu pertahanan pertama berpusat di Sakokenten, dan ring kubu pertahanan kedua di Sabo dipimpin langsung oleh Abdurrochim (Kimas Hindi) yang merupakan adik kandung dari Sido Ing Rejek (Setelah memulihkan Palembang, Kimas Hindi atau Abdurochim mendirikan Kesultanan Palembang Darussalam pada 3 Maret 1666. Beliau sendiri menyandang gelar Sultan Abdurachman Khaliaftul Mukminin Syaidul Imam).

 

Nara Sumber: Mas’amah Binti Alwi umur 85, Zulkipli Bin Ali Hanafiah (70 tahun), dan Faisol (72 Tahun)

Komentar Anda
Loading...