Sebulan Terakhir, Intoleransi di Daerah Terus Menjalar

31
Ketua Setara Institute Hendardi

Jakarta, BP–Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan, insiden pelanggaran kebebasan beragama, berkeyakinan (KBB) kembali marak sebulan terakhir.
Berbagai pelanggaran KBB dan ekspresi intoleransi menunjukkan peningkatan intensitas. Beberapa peristiwa menonjol yaitu 1 September 2020, terjadi pelarangan pembangunan fasilitas rumah dinas pendeta di Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) Kecamatan Napagaluh, Kabupaten Aceh Singkil.13 September 2020, terjadi gangguan sekelompok orang intoleran atas ibadah terhadap jemaat HKBP KSB di Kabupaten Bekasi. 20 September 2020, terjadi penolakan ibadah dilakukan sekelompok warga Graha Prima Kecamatan Jonggol Kabupaten Bogor terhadap jemaat Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI). 21 September 2020, pelarangan ibadah bagi umat Kristen di Desa Ngastemi, Kecamatan Bangsal, Kabupaten Mojokerto.
“Potret tersebut memperkuat fenomena umum terjadi tindakan intoleransi dan pelanggaran di KBB Indonesia. Sejak 2019, kecenderungan peningkatan ekspresi intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok agama minoritas. Sepanjang tahun lalu, dalam catatan Setara Institute, terjadi 200 peristiwa pelanggaran KBB,”ujar Hendardi dalam siaran persnya di Jakarta, Selasa (29/9).
Atas kondisi aktual yang terjadi September 2020 ini, kata Hendardi, Setara Institute mengutuk setiap tindakan yang menghalang-halangi penikmatan hak konstitusional setiap warga untuk beragama dan beribadah. Tindakan demikian tidak dapat dibenarkan dan nyata-nyata melanggar hak konstitusional atas KBB yang dijamin Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 28E Ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 Ayat (2) UUD NRI 1945.
Setara Institute juga menuntut pemerintah hadir menjamin dan melindungi hak konstitusional minoritas. Menurut dia, sejak 2007, salah satu persoalan terbesar intoleransi dan pelanggaran KBB di Indonesia terletak pada level negara. Pemerintah selama ini lebih sering absen ketika kelompok minoritas diintimidasi, direstriksi, didiskriminasi, bahkan dipersekusi. “Kalau pun hadir, aparat pemerintah, termasuk aparat keamanan, cenderung berpihak pada kepentingan pelaku intoleransi dan pelanggaran yang mengatasnamakan mayoritas,”katanya.
Dikatakan, minoritas kerapkali dikorbankan dan dipaksa mengalah atas nama harmoni dan kerukunan.
Oleh sebab itu dia mendesak Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, mengambil tindakan untuk menangani persoalan. Menteri Tito mesti mengambil kebijakan progresif, sesuai otoritas legal dan demokratik, untuk menjamin tata kelola pemerintahan daerah yang inklusif dan toleran dalam kebinekaan.
“Untuk menjadi catatan Mendagri, dalam periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, pemerintah daerah merupakan aktor negara paling banyak menjadi pelaku pelanggaran KBB, dengan 157 tindakan, dalam bentuk tindakan langsung, peraturan intoleran dan diskriminatif, maupun pembiaran. Pemerintah pusat tidak boleh diam, melainkan harus hadir menangani penjalaran intoleransi yang secara terus-menerus terjadi di daerah,”paparnya.#duk

Komentar Anda
Loading...