Ironis, Tradisi Rebo Kasan Belum Jadi Agenda Tahunan Wisata Palembang

41
Rebo akhir atau Rebo Kasan, tradisi yang hampir punah di kota Palembang.

Palembang, BP–Kesultanan Palembang Darussalam mempunyai warisan budaya yang bernilai tinggi. Salah satu pelestarian pada masa itu adalah adat istiadat. Pengaruh Agama Islam pada masa itu telah berakar dalam kehidupan masyarakat dan juga dalam lingkungan para pejabat Keraton Kesultanan Palembang Darussalam sehingga terlahirlah tradisi-tradisi yang bernapaskan Islam.

Salah satu tradisi yang hampir punah adalah Tradisi Rebo akhir atau Rebo Kasan dan Akhir Rabu, namun  pada dasarnya artinya sama.

Tradisi Rebo akhir berisikan tiga rangkaian kegiatan yaitu  Shalat Sunat Safar, Bekela, dan Mandi Safar yang  bertujuan untuk berdoa lebih mendekatkan dan memohon perlindungan  kepada Allah SWT agar terhindar dari  bala atau malapetaka dan sebagai ungkapan rasa syukur.

Pada bulan Safar ini juga biasanya Wong Plembang Lamo ada pantangan-pantangan atau menghindari  dengan tidak mengadakan acara, contohnya tidak melakukan upacara perkawinan, khitanan, pindah rumah, dan sebagian masyarakat masih mematuhi pantangan tersebut.

Tradisi Rabu akhir  pada tahun ini jatuh pada Rabu terakhir di Bulan Safar yaitu pada tanggal  23  Oktober 2019.

Baca Juga:  Konsep Penataan Bukit Seguntang Harus Jelas, Perlu Ada Koordinasi Antar-Instansi

Salah seorang tokoh budaya Palembang, Anna Kumari, Rabu (23/10), mengatakan, Rebo Kasan telah ada sejak ratusan tahun lalu yang dilaksanakan hampir di semua masjid atau mushalla di Kota Palembang, namun saat ini hanya segelintir masjid yang masih melaksanakannya.

“Rebo Kasan ini punya tujuan memohon kepada Allah agar dijauhkan dari segala bala bencana, tapi semakin sedikit yang masih melakukannya,” ujar Anna Kumari usai melaksanakan Rebo Kasan, Rabu (23/10).

Rebo Kasan menurutnya dilaksanakan pada hari rabu terakhir bulan Safar setiap tahun, di dalamnya berisi tiga runut kegiatan, yakni Shalat Sunat Shafar, Bakela, atau makan-makan dan mandi safar.

Shalat Sunat Safar empat rakaat yang dilakukan tanpa imam, utamanya dilaksanakan pada pagi hari, namun ada yang menjalankannya pada siang dan malam hari.

Setelahnya para jamaah membacakan dzikir, Surat Yasin dan membacakan doa-doa tolak bala agar dijauhkan dari bencana alam, tak lupa botol berisi air diletakkan di tengah-tengah pembacaan doa.

Kemudian, para jamaah makan bersama atau Bekela, makanan yang disantap bernuansa tradisional seperti Lakso, Laksan, Nasi Minyak ditambah kue-kue tradisional, makna Bekela sendiri untuk menyambung silaturahmi.

Baca Juga:  Lintas Politika Award 2023 Hadirkan Sejumlah Tokoh Inspirasi Sumsel

Terakhir, air di dalam botol yang sudah dibacakan doa diminum dan dibasuhkan ke wajah anggota keluarga yang melaksanakan Shalat Safar tersebut.

“Dulu setelah Bekela para warga langsung mandi di Sungai Musi atau anak-anak Sungai Musi, tapi sekarang kondisinya sudah tidak mungkin lagi, jadi digantikan dengan air di dalam botol itu,” jelas Anna Kumari.

Setidaknya ada sembilan masjid dan musholah yang melaksanakan Rebo Kasan hari ini, yakni Masjid Sultan Agung 1 Ilir, Masjid Islah 14 Ulu, Langgar Sukalilah 16 Ulu, Mushola Suka Damai  14 Ulu, Mushola Sabilllah 10 Ulu, Masjid Jamik Sungai lumpur 11 ulu, Masjid Al Mutakkin Jalan Jaya Indah, Langgar Kenduruan  7 ulu, dan Masjid Al Abroz Silaberanti.

Masjid-masjid yang masih melaksanakan Rebo Kasan merupakan masjid lama yang dikelilingi oleh warga keturunan arab atau lingkungan para ulama-ulama di Palembang, selain itu jamaah Rebo Kasan tergolong sudah usia lanjut dan sangat jarang diikuti golongan pemuda saat ini.

Baca Juga:  Penghancuran Cagar Budaya Terjadi di Palembang,  Ridwan Saiman Pertanyakan Predikat Palembang Sebagai Kota Pusaka

“Semakin sedikit warga yang melaksanakan Rebo Kasan, padahal inilah tradisi yang mengandung nilai luhur, saya berharap pemerintah daerah bisa membuat solusi agar tradisi ini tidak punah,” kata Anna.

Sadar akan tradisi yang terancam punah, Anna mengaku telah menuliskan buku petunjuk tradisi Rebo Wekasan, buku pertama diterbitkan pada 2011 oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan buku kedua diterbitkan pada 2013 oleh Kemendikbud RI.

“Buku-buku itu sudah dibagikan masjid-masjdi yang ada di Kota Palembang agar bisa dilestarikan oleh generasi penerus,” demikian Anna Kumari yang kini menginjak usia 74 tahun.

Apalagi menurutnya  tiga tahun lalu Dinas Pariwisata Palembang sudah ikut memperhatikan dengan ikut mengadakan bekela…”Tapi masih perlu proses untuk dijadikan agenda tahunan,” katanya.

Intinya  seharusnya tradisi ini selayaknya dikembangkan  sebagai wujud pelestariaan tradisi budaya Palembang yang bernapaskan Islam..dan bisa dijadikan  sebagai promosi Pariwisata

“Perlu perhatian khusus dari Dinas Kebudayaan  dan Dinas Pariwisata Kota Palembang,” katanya.#osk

Komentar Anda
Loading...