Palembang Paling Banyak Miliki Rumah Limas
Palembang, BP
Ari Siswanto dari kalangan Arsitektur Universitas Sriwijaya (Unsri) mengatakan, kalau kota Palembang adalah kota metropolitan di Indonesia yang paling banyak rumah- rumah tradisional.
“Medan itu hanya ada tiga, Jakarta bisa dihitung dengan jari, Palembang rumah tradisionalnya ratusan, cuma kita belum tahu rumah limas paling tua itu dimana ,” katanya saat menjadi pemateri dalam acara sosialisasi cagar budaya tahun 2018 yang di gelar oleh Dinas Kebudayaan kota Palembang di Hotel 101, Palembang, Kamis (12/7).
Dia menyayangkan, kalau rumah-rumah limas tua dijual pemiliknya, apalagi pemiliknya memiliki ekonomi rendah dimana harusnya rumah lima tersebut harus dijaga dan dilestarikan.
“Kalau Palembang tidak ada rumah limas, bagaimana, rumah limas kok ada di Bali, ada di Belanda, “katanya.
Karena itu, dengan sosialisasi cagar budaya tersebut dan perlu peraturan baru yang membuat terobosan agar rumah limas dan sebagainya bisa terjaga dan tetap di Palembang.
“Kita kurang memahami kalau rumah limas adalah warisan nenek moyang kita, punya kearipan lokal, “katanya.
Pemateri lain, pengamat hukum dari Universitas Sriwijaya (Unsri) Rd Moh Ikhsan mengatakan penanggulangan terhadap tindak pidana cagar budaya saat ini diutamakan pada kebijakan kriminal berupa kebijakan non penal dari aspek pencegahan yaitu dengan mengupayakan secara optimal langkah-langkah kebijakan yang bersifat mencegah tcrjadinya serangkaian tindak pidana terhadap cagar budaya .
Berupa upaya pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kebijakan ini dilandasi juga oleh pemikiran tentang perubahan paradigma pelestarian cagar.
Sedangkan arkeolog dari Balai Arkeologi (Balar) Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) Retno Purwati menilai warisan budaya di Provinsi Sumatera Selatan, Palembang khususnya termasuk melimpah dan beragam. Bahkan, beberapa lokasi telah dijadikan sebagai destinasi wisata seperti Situs Bukit Seguntang, Situs Karanganyar, Situs Almunawar, dan Benteng Kuto Besar.
Namun demikian, keberadaan cagar budaya yang ada di Palembang tidak banyak yang mendapatkan apresiasi yang memadai dari masyarakat, bahkan dari pemerintah daerah. Hal ini terbukti darl rendahnya partisipasi masyarakat dalam memelihara dan melindungi warisan budaya tersebut. Padahal tinggalan budaya dari masa lalu tersebut tidak akan bermakna dan memiliki nilai yang tinggi bagi upaya mengungkapkan jati diri bangsa atau identitas suatu kelompok masyarakat dimana tinggalan budaya tersebut ditemukan, tanpa keikutsertaan masyarakat luas.
Di Palembang rendahnya partisipasi masyarakat dan pemerintah daerah terlihat misalnya, dari revitalisasi areal Benteng Kuto Besar, yang di masa lalu pernah menjadi kraton atau pusat pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam. Hal serupa juga terjadi pada kawasaan Situs Bukit Seguntang, yang meskipun papan namanya ”Taman Purbakala Situs Bukit Siguntang”, namun apa yang terpampang di areal tersebut adalah taman baru, yang hanya ramai di akhir pekan. Sementara, tanda-tanda yang mempresentasikan kawasan tersebut merupakan situs masa Sriwijaya tidak tampak sama sekali.
Cagar Budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya perlindungan. pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggungjawab dalam pengaturan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Undang-Undang Cagar Budaya (CB) No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pada bagian menimbang, menyebutkan bahwa cagar budaya berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan perlu dikelola oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan meningkatkan peran serta masyarakat untuk melindungi.
Cagar budaya di Indonesia, khususnya Palembang, masih dalam keadaan rentan budaya, karena masih dapat dirusak, digusur atau diruntuhkan untuk berbagai keperluan pragmatis masa sekarang dalam rangka pengembangan kebudayaan. Undang-Undang Cagar Budaya telah ditetapkan sejak tahun 2010, namun perangkat pelaksanaannya masih dalam tahap “penggodokan” sehingga penghargaan yang layak sebagai CB seringkali dikalahkan (dihancurkan) oleh kebudayaan masa kini.
Selain itu, CB juga sering diperjualbelikan secara ilegal, diterlentarkan, dipisah-pisahkan, atau dipindahkan dari wilayah satu ke wilayah Iain sehingga di tempat asalnya secara periahan jumlahnya terus menurun. Untuk mencegah terjadinya proses “pemiskinan budaya” ini, setiap daerah perlu melakukan pendaftaran untuk mengetahui jumlah, jenis, dan persebaran CB di wilayahnya.
Oleh karena sebagian besar CB berada di tangan masyarakat, perlu pula diupayakan agar masyarakat dapat berpartisipasi aktif melakukan pendaftaran sehingga tidak seluruhnya dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Dengan demikian Cagar Budaya berupa koleksi, hasil penemuan, atau hasil pencarian dapat perlahan-lahan dicatat dan diberi perlindungan hukum terhadapnya. Kontribusi perorangan, kelompok, lembaga berbadan hukum, lembaga bukan badan.
Penggiat budaya, Dirjen Kebudayaan Kemdikbud RI, Wanda Lesmana M.Pd menghimbau, kepada masyarakat yang memiliki ataupun mengetahui apapun berkaitan tentang peninggalan sejarah dari masa Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Palembang sampai dimasa kemerdekaan berupa benda, bangunan, struktur, kawasan maupun situs sehingga data ini akan di daftarkan menjadi warisan budaya benda Kota Palembang.
“Sebagai catatan, peninggalan ini tidak akan diambil oleh Dinas kebudayaan Kota Palembang, bahkan apabila telah di data, peninggalan tersebut telah di daftarkan serta Pemerintah kota dalam hal ini wajib untuk melestarikannya,” katanya.#osk