Pelestarian Bangunan Cagar Budaya Peninggalan Belanda di Kota Palembang

346
Farida Wargadalem

Oleh : Farida Wargadalem (Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel)

 

PENDAHULUAN
Palembang adalah salah satu kota tua di Nusantara yang tentunya memiliki banyak tinggalan Bangunan Cagar Budaya. Tinggalan tersebut dapat dirunut sejak dari masa Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Palembang, masa kolonial Belanda, Jepang, dan masa kemerdekaan. Salah satu era yang menarik dikaji adalah masa kolonial Belanda, karena sesuai kondisi alamnya maka Kota Palembang tidak banyak memiliki “daratan”. Hal ini disebabkan sebagian besar daerah ini dipenuhi rawa pasang surut, sehingga rumah-rumah penduduk biasanya terbuat dari kayu dan bertiang.
Perubahan dari kawasan “air” ke “daratan” pertama kali dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda awal abad XX. Jadi, jelaslah bahwa bangunan-bangunan permanen yang bertebaran di kota ini berawal dari upaya yang dilakukan oleh pemerintah Belanda yang berkuasa di Palembang pada waktu itu. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kebiajakan umum yang diambil oleh pemerintah kolonial Belanda di Nusantara pada waktu itu, yaitu konsekuensi logis dari makin berkembangnya dan mapannya pemerintahannya di Indonesia, sebagai akibat dari kebijakan Politik Ekonomi Liberal dan Politik Etis. Mereka membutuhkan pemerintahan yang efektif dan dikelola secara modern, maka membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai. Di bidang pemerintahan, pemerintah Belanda di Batavia mengeluarkan keputusan Undang-Undang Desentralisasi 1 April 1906 (Staadblad van Nederlnadsch Indie, No. 126, 1 April 1906) yang menjadikan kota Palembang sebagai Gemeente (Kota Praja).
Tindak lanjut dari kebijakan tersebut, pemerintah Belanda membangun berbagai fasilitas jalan, jembatan, juga bangunan-bangunan permanen guna memenuhi kebutuhan tersebut, baik untuk kepentingan pemerintahan, bisnis, dan pemukiman. Kawasan awal yang dibuat adalah pertokoan di daerah 16 Ilir, seputar kawasan Jalan merdeka, sampai ke daerah Talang Semut, dan Rumah Sakit Charitas. Sebagian kawasan tersebut masih terpelihara, namun sebagian lainnya telah berubah fungsi, berubah sebagian bentuk bahkan hilang sama sekali.

Bangunan Cagar Budaya Peninggalan Belanda

Penetapan Palembang sebagai Gemeente (Kota Praja) 1906, menyebabkan perlunya memenuhi berbagai fasilitas demi menunjang status tersebut. Faktor lain karena makin banyaknya orang-orang berkebangsaan Belanda yang tinggal di kota ini. Pihak kolonial mulai membangunan jalan, jembatan, dan fasilitas lainnya. Sebelumnya mereka juga telah membangun rumah dan kantor residen, di atas reruntuhan Keraton Kuto Lamo yang mereka hancurkan demi kepentingan di atas. (ANRI, Besluit van Governour Generaal, tanggal 21 Agustus 1822 nomor 10, Bundel Algemeen Secretarie). Bangunan tersebut kini dikenal dengan nama Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Hampir seratus tahun kemudian dilakukan pembangunan yang serius di kota ini tampak dari dibuatnya masterplan kota sejak tahun 1929, di bawah pimpin insinyur H.T. Karsten yang merupakan tokoh arsitek pada waktu itu. Bangunan-bangunan kini dapat dilihat dari hasil peneltian ini, antara lain pertama, Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Bangunan museum ini adalah bangunan pertama yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda di Palembang. Bangunan yang diperuntukkan bagi kantor dan rumah dinas residen (van Sevenhoven) Belanda, dibangun di atas puing-puing keraton Kuto lamo yang dirubuhkan. Bangunan museum ini berukuran panjang 32 meter, lebar 22 meter, dan tinggi 17 meter. (ANRI, Besluit van Governour Generaal, tanggal 21 Agustus 1822 nomor 10, Bundel Algemeen Secretarie; Hanafiah, 1998; Santun, 2011). Jaman Jepang dimanfaatkan mereka sebagai markas tentara. Pada awal kemerdekaan dijadikan teritorium II Kodam Sriwijaya. Selanjutnya, diambilalih oleh pihak pemerintah Kota Palembang, dan terakhir menjadi museum. (Wawancara dengan Ali Hanafiah, 8 Juli 2014).
Kedua, Museum Tekstil, bangunan ini di bangunan tertua tahun 1883. Bangunan ini diperuntukkan bagi tempat tinggal pejabat tinggi Belanda di Palembang setingkat residen pada tahun 1930-an. Pada 1961 dimanfaatkan sebagai kantor Inspektorat Kehakiman, berganti menjadi kantor Kejaksaan Tinggi, dn lainnya. Terakhir dijadikan Museum Tekstil sejak 5 Nopember 2008. Sejak beberapa tahun terakhir terbengkalai seiring penolakan masyarakat atas rencana pemerintah menjadikannya hotel heritage bertarap internasional. (Harian Sumeks, 18 Mei 2011). Ketiga, Kantor Burgemeester atau Kantor Ledeng.     Pembangunannya sangat strategis sebagai kelengkapan penting sebagai kota praja, sekaligus untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi orang-orang Belanda di sini. Dengan demikian, bangunan ini adalah lambang supremasi kekuasaan Belanda, dan sepanjang sejarah menjadi landmark kota, karena keindahan arsitekturnya. Setelah Indonesia merdeka, gedung ini diambil alih oleh pemerintah, dan sejak tahun 1963 dijadikan kantor wali kota Palembang hingga kini. Akhir tahun 2013 sampai awal tahun 2014 Pemerintah Kota Palembang menambah bangunan roof top dilantai tujuh sehingga merubah bagian tertinggi dari bangunan tersebut. Dengan demikian, di samping berubah fungsi bangunan bersejarah ini berubah pula bentuknya. (Farida R. Wargadalem dalam Tribun Sumsel, 31 Maret 2014; Hanafiah, 1998).
Bangunan lainnya adalah Gedung Jacob van der Berg, Lokasinya di Jalan Sekanak. Gedung ini sampai kini telah beberapa kali berganti nama dan kepemilikan. Secara umum diperuntukkan bagi perdagangan, antara lain PT. Jacob Son yang bergerak di bidang makanan dan minuman (gandum, bir, obat-obatan dan lainnya). Setelah kemerdekaan dinasinalisasi dengan nama PN. Fajar Bakti, dan berpindah tangan menjadi milik PT. Satya Niaga, bergerak di bidang eksport karet dan kopi, serta pengolahan kopi (1968-1973). Sebelum menjadi Dharma Niaga (gudang semen), sempat pula menjadi milik BUMN bernama PT Tri Dharma, dan terakhir bernama Panca Niaga. Gedung tua ini tidak terurus, di sana-sini rusak dan kusam. Jendela-jendela besarnya ditutup dengan tembok bata. Bagian dalam bangunan di beri sekat-sekat sebagai pemisah ruang kantor dan gudang penyimpanan (Laporan …, 2002; wawancara dengan Bapak Firman, dan Tedi, 29 April 2014).
Awal abad XX dibangun dua hotel mewah yaitu Hotel Schwartz (Musi), dan Hotel Smit (Hotel Sehati) di jalan Merdeka Palembang. Pembangunan kedua hotel ini untuk mengantisifasi makin berkembangnya Kota Palembang sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan. Banyak tamu wakil pemerintah pusat Batavia, juga pebisnis atau pelancong lainnya. Setelah merdeka tidak diketahui kepemilikan kedua bangunan penting ini. Sebelum berubah menjadi kondisi sekarang, yaitu Hotel Sehati dihancurkan menjadi Kantor Wilayah Pajak Sumsel dan Bangka-Belitung sejak tahun 2006, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK/01/2006 tahun 2006. Hotel Musi berubah menjadi kantor BKD Kota Palembang tahun 2010. Sebelum diambilalih oleh pihak ketiga, kedua bangunan adalah milik perorangan (Hanafiah, 1998; Laporan …, 2002; Profil…,2007; Wawancara dengan Erni, 10 Juni; Wawancara dengan Firman Ramadhan, 22 Mei 2014).
Bangunan berikutnya adalah Balai Prajurit. Bangunan ini di bawah kendali Kodam II Sriwijaya dan dimanfaatkan sebagai tempat pertemuan, pernikahan, dan kegiatan lainnya. Dibangun awal abad XX oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai gedung pertemuan yang bernama Societeit, yang juga dikenal dengan nama Rumah Bola. Keberadaan gedung ini sangat penting, sebagai penanda bahwa Palembang pada waktu itu adalah salah satu kota penting di Nusantara yang sangat diperhatikan oleh pihak kolonial Belanda, mengingat keberadaan sebuah gedung Societiet merupakan simbol sebuah kota yang maju. (Laporan…,2002; Hanafiah, 1998). Di dekatnya terdapat Balai Pertemuan, digunakan sebagai tempat pertemuan, baik masa kolonial Belanda maupun setelah Indonesia merdeka. Dari tampak depan atau luar bangunan ini tidak mengalami perubahan berarti, namun di bagian dalam bangunan telah ada sebagian penambahan dalam bentuk tembok permanen dan di sekat-sekat dengan triplek semasa digunakan oleh kantor Dinas Pamong Praja. Awal tahun 2014 gedung diserahkan kepada pihak ketiga, dan direnovasi dengan tidak merubah bentuk aslinya dan dijadikan restauran dan theater Kuto Besak(Laporan …, 2002; Hanafiah, 1998; Wawancara dengan Miss X, 29 April 2014).
Di bidang pendidikan terdapat bangunan sekolah yaitu Mulo School. Sekolah setingkat SMP ini dibangun pada tahun 1926. Bangunan ini sampai sekarang cukup terawat dan tetap berada di bawha lembaga pendidikan yaitu SMP Negeri 1 Palembang. Beberapa perubahan terjadi, diantaranya pintu masuk, pintu gerbang, dan penambahan bangunan untuk ruang belajar siswa, namun, bangunan asli tetap dipertahankan (Laporan …, 2002). Di bidang kesehatan terdapat Rumah Sakit Charitas, dibangun oleh Kongregasi Charitas tahun 1926. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit swasta pertama di Palembang. (Laporan …, 2002; Hanafiah, 1998). Sebagai rumah sakit tertua milik Katholik, perkembangannya sangat pesat. Penambahan bangunan banyak dilakukan, sehingga yang tersisa adalah bangunan bagian depan yang merupakan ciri khas Rumah Sakit Charitas. Sedangkan bidang keagamaan ditandai dengan berdirinya Gereja Siloam sejak tahun 1935. Perubahannya hanya pada penambahan bagian belakangnya yaitu untuk kantor gereja. (50 Tahun…, 2006:3-10 dan 65; wawancara dengan Pendeta Em Rumanto, dan Pendeta Esmanto,18 Mei 2014).
Langkah-langkah yang telah diambil oleh Pemerintah Kota Palembang.
Secara umum langkah-langkah yang telah, sedang, dan akan datang adalah menginventarisir data warisan budaya di kota ini. Di samping itu, telah pula dilakukan pendaftaran sebagian dari hasil pendataan tersebut ke Direktorat Cagar Budaya Pusat. Pendataan tersebut semakin baik dengan adanya pelatihan yang diadakan oleh Direktorat Cagar Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Bulan November 2013. Selain itu, kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Palembang juga mendapat bantuan berupa, komputer, laptop, printer, kamera, timbangan digital, flashdisk ukuran mega, GPS (alat ukur untuk menentukan lokasi, peta, skala) dan lainnya. (Wawancara dengan Lisa Surya Andika, 29 April dan 29 Oktober 2014; wawancara dengan Retno Purwanti, 29 Oktober 2014).
Pemerintah Kota Palembang melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata juga melibatkan organisasi profesi Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Komisariat Palembang dalam mendata aset Bangunan Cagar Budaya di kota ini. Selain itu, mendorong dan mengarahkan pemilik bangunan dan masyarakat sekitarnya agar terlibat aktif dalam memelihara dan melestarikan bangunan bersejarah, termasuk tidak merubah bentuk aslinya. (Wawancara dengan Lisa Surya Andika, 29 Oktober 2014; Wawancara dengan Habson, 22 Mei 2014).

Baca Juga:  SMB IV Kagumi Keris-keris Palembang di Pameran Perkumpulan Pusaka Palembang Sriwijaya

Kendala dalam Pendataan Warisan Cagar Budaya

Belum adanya payung hukum dalam upaya melindungi, mengmbangkan, dan memanfaatkan Bangunan Cagar Budaya dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda), dan Peraturan Wali Kota (Perwali). Di samping itu, pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata juga belum memiliki Tim Ahli Cagar Budaya yang keberadaannya harus terlebih dahulu mengikuti pendidikan yang diselenggarakan oleh Direktorat Cagar Budaya Pusat, sehingga ini menjadi kendala berarti bagi pihak pemrintah Kota Palembang untuk berbuat lebih lanjut. Di sisi lain, kebutuhan akan Tenaga Ahli juga terkendala dengan minimnya dana yang tersedia di bidang ini. (Wawancara dengan Ali Hanafiah, 2 September, 2014; Wawancara dengan Lisa Surya Andika, 29 Oktober 2014).

Baca Juga:  Dandrem 044/Gapo Hadiri Rapat Koordinasi Ops Lilin Musi 2020

Berbagai Bangunan Cagar Budaya di Kota Palembang banyak mengalami perubahan, bahkan ada yang hancur atau terancam hilang (Jacob van der Berg, Hotel Sehati, dan bekas Museum Tekstil). Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah Kota Palembang adalah melakukan pendataan terhadap Bangunan Cagar Budaya dengan melibatkan MSI Komisariat Kota Palembang. Mereka juga telah mendaftarkan Gedung Balai Pertemuan ke Direktorat Cagar Budaya Pusat.
Upaya lain adalah memberikan pengarahan kepada pemilik dan masyarakat sekitar Bangunan Cagar Budaya agar memelihara dan tidak merubah bentuk asli bangunan. Kendala yang dihadapi antara lain, keterbatasan dana, sehingga belum mampu membentuk Tim Ahli Cagar Budaya dan Tim Ahli. Pemerintah kota juga belum memiliki payung hukum dalam bentuk Perda dan Perwali.
Harapan
Sejarah panjang Palembang sebagai kota tertua di Indonesia, sekaligus pusat peradaban dan pemerintahan di Sumatera Selatan jangan sampai kehilangna jejak. Hilangnya jejak berarti hilang pula “identitas”. Jejak dapat dirunut mulai masa sebelum sejarah hingga kini. Kota Palembang memiliki banyak bangunan bersejarah yang menjadi “penciri” kota, jika tidak atau kurang upaya untuk melestarikan dan mengembangkannya maka semua kan tinggal cerita. Upaya pelestarian, tidak hanya berguna bagi pelestarian itu sendiri dan identitas kota juga menjadi aset yang sangat layak dijual sebagai objek wisata. Sebab, jika orang-orang yang datang baik dari dalam negeri maupun luar negeri tentunya akan mencari apa yang menjadi “ciri” bagi kota ini, yang menjadi cirinya ya salah satu yang penting adalah bangunan bersejarah. Melestarikan dan mengembangkan akan menjadi “nilai jual” bagi kota, yang tentunya ini juga menjadi iklan baik dan mendatang devisa bagi pemerintah dan masyarakat umumnya.#

Baca Juga:  Usulan NA Raperda RTRW tahun 2023-2043 Pihak Pemprov Sumsel, DPRD Sebut  Belum Dikembalikan ke DPRD Sumsel

 

Komentar Anda
Loading...