Anna Kumari, Penjaga Dan Pelestari Seni Dan Budaya Terakhir Di Kota Palembang
Palembang, BP
Provinsi Sumatera Selatan merupakan provinsi yang kaya akan ragam seni budaya seperti tari, musik dan teater tradisional. Anna Kumari yang memiliki komitmen tinggi terhadap pelestarian seni budaya Palembang. Dialah penjaga dan pelestari seni budaya terakhir di kota Palembang . Terbukti dengan kiprahnya dalam pelestarian seni budaya Palembang sudah puluhan tahun.
Masayu Anna Kumari atau Anna Kumari dikenal sebagai pelestari tradisi mulai dari seni tari, silat,teater,Musik, seni suara ,khusus puisi (Sering disiarkan di gelanggang Sastra RRI pimpinan Buya Zainal Abidin Hanif ) sampai kerajinan Songket di kota kelahirannya, Palembang.
Tak hanya itu. Cek Anna, begitu ia populer dipanggil di kota pempek itu,yang merupakan Anak dari Alm Mayor AR Amantcik Rozak dijuluki Panglima Sabilillah Andalas Selatan pejuang Perang Lima Hari Lima Malam dan Perintis Kemerdekaan RI, dikenali pencipta tari yang produktif dan untuk itu tidak kurang 50 tari telah diciptakannya.
Anna yang juga ayunda dari artis senior Anwar Fuady tumbuh sebagai anak yang mencintai kesenian sering tampil dalam sejumlah acara kenegaraan. Ia menjadi penari Istana Negara tahun 1961-1962.
Ana Kumari sendiri lahir di Palembang, 10 November 1945. Dilahirkan dari keluarga yang memegang teguh tradisi, ia tumbuh sebagai anak yang secara alamiah mencintai kesenian. Saat kecil, ia kerap diajak orang tuanya menghadiri pesta pernikahan adat Palembang. Di sela-sela kunjungan itu, ia kadang menyelinap ke kamar pengantin untuk mengagumi riasan mempelai perempuan dan kain songket yang digunakan. Siapa sangka, tindakan jahil itu justru mendorongnya melestarikan seni dan kebudayaan Palembang.
Persentuhannya dengan seni secara profesional terjadi ketika dia tinggal di Jakarta bersama orangtuanya pada awal 1960-an. Uniknya, kesenian yang ditekuninya secara professional bukanlah kesenian khas Palembang.
Salah seorang kakak Cek Anna (Alm) Nuraini Rusdhy Cosim seorang Politikus Sumsel tinggal di daerah Setia Budi, Jakarta. Hal itu membuat Anna sering mondar-mandir Jakarta-Palembang.
Tahun 1962, ia yang kala itu berusia 17 tahun mengikuti seleksi penari di Istana Kepresidenan. Setelah menjalani sejumlah tes, ia terpilih untuk membawakan tari Bali.
“Tetapi waktu itu saya tidak membawakan tari Sumatera Selatan, tetapi tari Bali seperti Tari Kecak, Tari Pendet, dan Panji Semirang. Guru saya waktu itu Nyoman Suwarni dan I Wayan Linggih. Kami latihan di Istana Merdeka dan Presiden Soekarno kadang ikut meninjau,” kata Anna, Minggu (28/1).
Pada tahun 1963 ia tampil dalam acara pembukaan pesta olahraga internasional Ganefo yang digagas Bung Karno.
Saat kembali ke Palembang, Anna mengaku diminta menjadi pemimpin grup kesenian Komando Daerah Militer (Kodam) IV/Sriwijaya yang beranggotakan sekitar 30 orang. Tahun 1966 Komandan Inmindam IV Sriwijaya, Kolonel Makmun Rasjid, memintanya menciptakan tarian baru untuk menyambut Panglima Kodam IV Sriwijaya yang baru, Brigjen Jenderal Irsak Juarsa. Karena alasan politik, tari “Gending Sriwijaya”yang biasa dipakai untuk menyambut tamu terhormat dilarang dipentaskan.
Ia kemudian mendapat inspirasi untuk menciptakan tari pengganti “Gending Sriwijaya” yang kemudian diberinya nama “Tepak Keraton” yang menggambarkan Kejayaan Kesultanan Palembang Darussalam yang dipimpin oleh Mahmud Badaruddin II sekitar abad ke-16. Sampai sekarang, tari tersebut kerap dipentaskan untuk tarian penyambutan tamu terhormat.baru – baru ini Tari Tepak Keraton digelar di Opening MTQ Internasional Tahun 2015.
Mantan bintang RRI tahun 1967 ini kemudian mendirikan Sanggar Tari Anna Kumari pada awal tahun 1963 Ia mencari anak-anak gadis dari rumah ke rumah untuk berlatih menari di sanggarnya.
Namun, banyak orangtua tidak membolehkan anak perempuan mereka menari karena takut anak mereka bakal jadi ronggeng. Cek Anna tidak menyerah. Akhirnya ada yang mau berlatih di sanggar.bahkan banyak diantara penari adalah anak- anak dari bangsawan dan pejabat daerah.
Akhirnya sanggar Tari Anna Kumari maju pesat. Mereka bisa tampil di mana-mana, tidak saja di sejumlah kota di Indonesia tetapi juga di luar negeri.
Prestasi itu membuat banyak anak gadis mau berlatih tari di sanggarnya. Apalagi banyak penari dari sanggar ini mudah mendapatkan pekerjaan di bank dan kantor-kantor lainnya.
Pada tahun 2015, Pemerintah RI melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan Penghargaan Kebudayaan Kategori Pelestari.
“Saya merasa tersanjung bahwa apa yang sudah saya lakukan selama ini dari kecil sampai sekarang, bisa mendapat penghargaan dari pemerintah Sumsel dan RI Itu suatu hal yang membuat saya terharu Tidak sia-sia apa yang saya lakukan selama ini. Sejak kecil saya senang dengan seni dan budaya,” kata Anna yang baru-baru baru ini juga dapat penghargaan anugerah seniman dari KKP, Sriwijaya TV,Stisipol Chandradimuka dan sebagainya…
Namun diujung umur yang sudah senja ini dan sering sakit namun Anna mengaku In Shaa Allah akan tetap melestarikan budaya untuk generasi sekarang dan yang akan datang selagi hayat dikandung badan.
“ Yang sakit itu badan, suara saya khan tidak,” ujar sang Maestro tari ini yang juga merupakan penulis buku- buku budaya diantaranya Perkawinan 7 hari 7 Malam dan Buku Rebo Akhir tradisi budaya Plg yg hampir punah ditulis bersama anaknya Mirza Indah Dewi . Dudy Oskandar