

Palembang, BP- Selain BEM-Sesumsel yang menggelar aksi demo protes terhadap keputusan Badan Legislasi (Banleg) DPR RI yang menyetujui Revisi UU Pilkada, yang dianggap telah mencederai konstitusi dan demokrasi.
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Ogan Ilir (OI) juga ikut melakukan demo di gedung DPRD Sumsel, Kamis (22/8).
GMNI OI bersama elemen mahasiswa lainnya menegaskan dukungan mereka terhadap putusan MK dan menuntut Baleg untuk mematuhi konstitusi.
“Ini bukan sekadar aksi protes, ini adalah bentuk perjuangan kami untuk mempertahankan demokrasi dan keadilan di negeri ini,” kata Melalui Anta, Wakil Ketua Bidang Ideologi dan Politik (Wakabid Ideopol) GMNI OI.
Dengan keberanian dan tekad yang kuat, mereka siap mengawal dan mendukung setiap upaya yang menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat.
“Kami tidak akan diam ketika konstitusi diabaikan. Kami akan terus berjuang demi tegaknya keadilan di Indonesia,” katanya.
Anta menilai, organisasinya menegaskan komitmennya untuk mengawal putusan MK No. 60/PUU-XXII-2024 yang mengubah ambang batas pencalonan dan usia calon kepala daerah.
Dalam putusan terbaru, MK memutuskan bahwa ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah yang sebelumnya ditetapkan sebanyak 25% perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik, atau 20% kursi DPRD, kini diubah menjadi hanya 6,5% dari jumlah suara di daerah tersebut.
Perubahan ini juga disesuaikan dengan total penduduk di suatu daerah, menjadikan proses pencalonan lebih inklusif dan adil.
Selain itu, MK juga menetapkan bahwa usia calon kepala daerah harus minimal 30 tahun pada saat penetapan calon, bukan saat pelantikan, yang sebelumnya menjadi syarat.
Respon dari Banleg DPR RI ini terhadap putusan MK ini menurutnya menimbulkan keresahan.
“Baleg menyatakan bahwa pengurangan ambang batas tersebut hanya berlaku untuk calon non-parlemen, sementara untuk ambang batas usia, mereka lebih memilih keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menetapkan syarat usia 30 tahun saat pelantikan. Sikap ini dinilai sebagai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi, yang seharusnya bersifat final dan mengikat,” katanya.
Anta mengungkapkan bahwa sikap acuh dari Baleg terhadap putusan MK tidak hanya melukai konstitusi, tetapi juga mencederai kepercayaan masyarakat dan mahasiswa.
“Ini bukan hanya soal teknis hukum, ini soal keadilan dan demokrasi yang sedang dipertaruhkan. Ketika lembaga legislatif tidak menghormati putusan MK, itu sama saja dengan membuka jalan bagi anarki hukum,” katanya.#udi