Implikasi Georafis dan Historis Palembang Sebagai Kota Air
Oleh : Noftarecha Putra,S.Pd.
(Guru IPS SMPN Gunung Batu dan Anggota Studie Club ‘Gerak Gerik Sejarah’)
KOTA Palembang secara konteks lokal memiliki hubungan yang begitu erat dengan sungai. Keberadaan sungai-sungai kecil maupun besar di Kota Palembang menjadikan Palembang sebagai sebuah waterfront atau Kota Air. Hal inilah yang kemudian menciptakan sebuah peradapan bahari di Kota Palembang, peradaban ini juga didukung oleh daerah-daerah disekitar Kota Palembang. Apabila di Jawa pendekatan geografis selalu mengambil arah mata angin seperti lor untuk kata utara, kidul untuk arah selatan, wetan untuk timur dan kulon untuk kata barat. Maka beda halnya dengan konteks Uluan dan Iliran yang dimiliki oleh Kota Palembang yang berdasarkan hulu dan hilir Sungai Musi. Dengan adanya Sungai Musi sebagai daerah pertemuan antara Uluan dan Iliran tentunya akan membuat Palembang menjadi sebuah Bandar Dagang penting antara dua wilayah ini. Sungai Musi yang membelah Kota Palembang menjadi daerah Hulu dan Hilir menjadikan Kota Palembang sebagai pintu gerbang bagi masuknya kapal-kapal besar dari luar maupun sebagai lalu lintas penting bagi transportasi antara daerah Uluan dan Iliran. Hal inilah yang kemudian membuat penulis tertarik bagaimana peran Kota Palembang sebagai Muara dari sungai Batanghari Sembilan maupun sebagai Bandar Dagang di Sumatera Selatan terutama pada masa kesultanan Palembang dan Kolonial Belanda.
Mengkaji peradaban bahari Kota Palembang tidak terlepas dari tiga komponen dasar yang menopangnya, yaitu Sungai Musi, Uluan Iliran dan Kota Palembang itu sendiri. Kota Palembang termasuk dalam wilayah Sumatera Selatan masa kini. Dalam sebuah catatan masa kolonial, William Marsden mendeskripsikan Palembang sebagai suatu daerah yang terletak didataran rendah dengan tanah yang rata, rawa-rawa dan daerah pantai yang sering kali terendam oleh banjir, hal ini membuat Palembang tidak cocok untuk tempat bercocok tanam. Sedangkan daerah pedalaman Palembang memiliki daerah yang subur dan terletak didaerah dataran tinggi, sehingga barang-barang produksi dihasilkan oleh daerah ini.
Sungai Musi yang membelah Kota Palembang menjadi daerah Hulu dan Hilir menjadikan Kota Palembang sebagai pintu gerbang bagi masuknya kapal-kapal besar dari luar maupun sebagai lalu lintas penting bagi transportasi antara daerah Uluan dan Iliran. Hal inilah yang kemudian membuat penulis tertarik bagaimana peran Kota Palembang sebagai Muara dari sungai Batanghari Sembilan maupun sebagai Bandar Dagang di Sumatera Selatan terutama pada masa kesultanan Palembang dan Kolonial Belanda. Maka, ada beberapa hal yang perlu kita ketahui yakni bagaimana peran Kota Palembang sebagai jalur lalu lintas masuknya kapal-kapal asing dan kapal-kapal dari daerah Uluan, peran daerah Uluan sebagai penyuplai komoditas Bandar Dagang di Kota Palembang, peran Kota Palembang sebagai Muara Sungai dan aktivitas perdagangannya, serta sistem perdagangan dan pengelolan Bandar Dagang di Kota Palembang.
Sebagai daerah dataran rendah Palembang sangat bergantung pada bidang jasa terutama perdagangan. Hal inilah yang kemudian membuat Sungai Musi mempunyai posisi yang sangat sentral di Kota Palembang. Sungai Musi yang panjangnya mencapai 550 km, dan merupakan induk dari Sungai Ogan, Beliti, Lematang, Lakitan, Komering, Rawas, Rupit, Kelingi dan Batang Leko.[1] Sungai-sungai ini merupakan anak sungai Musi yang disebut Batanghari Sembilan. Disamping itu Sungai Musi membelah Kota Palembang menjadi dua, yaitu daerah Hulu dan Hilir. Dari sejumlah sungai itu digunakan sebagai sarana transportasi yang mampu membentuk suatu pusat jaringan perdagangan di Kota Palembang.[2] Maka dari itu Sungai Musi tentunya mengambil peranan penting dalam citra Palembang sebagai Kota Air dan dari sungai ini juga terbentuklah konsep Uluan dan Iliran.
Uluan dan Iliran merupakan konsep kewilayahan yang sama sekali berbeda dengan Jawa. Pada perkembangannya Uluan dan Iliran tidak hanya menjadi konsep kewilayahan semata, tetapi juga dalam konsep sosio-kultural. Secara kewilayahan konsep Uluan adalah daerah yang terletak dipedalaman Sumatera Selatan disepanjang aliran Batanghari Sembilan. Sedangkan konsep Iliran merujuk kepada Kota Palembang yang memiliki Sungai Musi sebagai muara dari Batanghari Sembilan. Daerah Iliran tersebut, kerapkali juga disandingkan dengan kedatangan kemajuan, sebab yang paling pertama menerima perubahan acapkali datang dari daerah iliran sungai, yang kemudian kalau itu memang sampai, baru kemajuan itu menyentuh ke arah dan mengarah ke dunia daerah Uluan.[3] Maka tidak heran dengan adanya Sungai Musi dan dekatnya jarak ke laut lepas Kota Palembang menjadi Bandar Dagang terpenting secara lokal maupun Internasional.
Keberadaan Sungai Musi yang memiliki lebar mencapai satu mil membuat kapal-kapal besar bisa masuk dan berniaga di Kota Palembang. Hal inilah kemudian yang mendukung Kota Palembang untuk menjadi jalur utama perdagangan sekaligus pintu gerbang untuk masuk ke daerah pedalaman yang mempunyai potensi sangat besar dalam bidang pertanian maupun perkebunan. Komoditas seperti karet, damar, kopi, dan lada menjadi komoditi utama yang menjadi andalan Kota Palembang. Bambang Purwanto dalam disertasinya yang berjudul From Dusun To The Market : Native Rubber Cultivation In Southern Sumatera, 1890-1949, menggambarkan bagaimana karet menjadikan Kota Palembang sebagai pasar yang menjadi media penghubung perdagangan antara daerah pedalaman atau Uluan dengan dunia perdagangan Internasional.
Pada masa Kesultanan Palembang perdagangan antara Uluan dan iliran ini dilakukan dilakukan diatas permukaan air atau pasar-pasar terapung. Para pedagang dari Uluan biasanya menjual barang-barang produksi yang memang tersedia ditempat mereka, setelah barang dagangan habis mereka kembali ke Uluan dengan membawa barang-barang kebutuhan seperti, kain, garam dan candu untuk diperjualbelikan kembali didaerah mereka. Sebagai daerah yang menjadi wilayah Kesultanan Palembang perdagangan di Kota Palembang diatur oleh Kesultanan dengan membuat peraturan-peraturan yang paling baik sebagaimana dinyatakan oleh orang-orang pribumi dan orang-orang Eropa. Selain menciptakan peraturan-peraturan tersebut Kesultanan Palembang juga terlibat langsung sebagai pengawas.Dalam melakukan perdagangan Sultan dibantu oleh raban dan jenang bekerjasama dengan lembaga-lembaga yang berada dibawahnya seperti pesirah dan proatin.[4]
Setelah Kesultanan runtuh pada 1821, perdagangan di Kota Palembang berada di bawah control pemerintah kolonial Belanda. Pada 29 Maret 1824 dibentuklah perusahaan dagang Belanda yaitu NHM yang bertugas mengatur semua sector ekonomi guna keuntungan Belanda. Melalui kantor perwakilannya, NHM punya peran ganda sebagai pengelola jual-beli komoditas lokal dan sebagai perantara dagang antara Palembang, Singapura dan China.[5] Dan pada awal abad 20 mulai banyak berdiri rumah-rumah dagang besar milik perusahaan dagang Belanda, yang kemudian disusul oleh perusahaan-perusahaan dagang dari negara Eropa lainnya. Selain oleh perusahaan-perusahaan besar asing perdagangan di Palembang juga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Tionghoa, Arab maupun Pribumi.
Sebagai sebuah Kota yang terdiri atas sebuah sungai besar yang merupakan muara dari banyak sungai, Kota Palembang menjelma menjadi sebuah Bandar Dagang yang penting pada masa lampau. Jarak Kota Palembang yang dekat dengan laut lepas dan terletak diantara Batavia dan Singapura menjadi daya tarik bagi pedagang-pedagang asing untuk berniaga di Kota Palembang. Selain itu, sumber daya alam yang melimpah di daerah Uluan menjadikan Kota Palembang sebagai penghasil komoditas perdagangan internasional. Sungai Musi yang membelah Kota Palembang menjadi jalur transportasi yang sangat vital dalam menunjang perdagangan antara Uluan, Iliran maupun dengan dunia Internasional.#
Sumber :
Faille , P. De Roo De, Dari Zaman Kesultanan Palembang, terj., Djakarta : Bhratara, 1971.
Irwanto, Dedi dkk, Iliran dan Uluan : Dinamika dan Dikotomi Sejarah Kultural Palembang, Yogyakarta : Eja Publisher, 2010.
Supriyanto, Pelayaran dan Perdagangan di Pelabuhan Palembang 1824-1864, Yogyakarta : Ombak, 2013.