Tiga dari Sumsel Menguak COP
Oleh : Maspril Aries
Wartawan Utama/ Penggiat Kaki Bukit Literasi
PEKAN lalu ada banyak berita di media online dan media cetak yang memberi kabar tentang Bupati Musi Banyuasin (Muba) Dodi Reza Alex berbicara di forum internasional yang membahas tentang lingkungan khususnya tentang perubahan iklim di Madrid, Spanyol.
Bupati Muba Dodi Reza Alex tampil berbicara pada forum internasional bergengsi yang membahas tentang perubahan iklim – KTT Perubahan Iklim 2019 – The UN Climate Change Conference COP (Conference of the Parties) 25 yang berlangsung 2 – 13 Desember 2019.
Pada KTT Perubahan Iklim 2019 tersebut delegasi Indonesia dipimpin Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Alue Dohong. Bupati Dodi Reza Alex berkesempatan tampil pada Kamis (5/12) pukul 16.40 waktu Spanyol. Di paviliun Indonesia Bupati Muba berbicara tentang implementasi kegiatan pengelolaan lanskap berbasis hutan.
Dodi tampil pada sesi Partnership in Sustainable Landscape Management in South Sumatra as A Model for Climate Change dengan menampilkan beberapa praktek keberhasilan yang baik (best management practice) tentang pembangunan hijau dan energi terbarukan di Kabupaten Musi Banyuasin.
Menurut berita-berita tersebut, Bupati Dodi Reza Alex tampil berbicara di forum internasional tersebut untuk yang kedua kalinya. Benarkah berita tersebut, saya pun mencoba mencari jawabannya dengan menelusuri jejak digitalnya di internet. Saya menemukan jawabannya, pada COP 24 yang berlangsung 2018 di Katowice, Polandia.
Adakah tokoh lainnya dari Sumatera Selatan (Sumsel) yang pernah menjadi pembicara di COP sebelumnya? Sudah banyak tokoh dan pejabat Indonesia berbicara di COP dari Presiden, menteri sampai kepala daerah. Dari semua yang pernah berbicara, hanya ada tiga tokoh dari Sumsel yang datang menguak tirai COP dan berbicara di forum internasional tersebut. Tidak sembarang tokoh yang bisa berbicara di COP, hanya mereka yang terpilih yang bisa tampil.
Pertama, Alex Noerdin saat masih menjabat Gubernur Sumsel menjadi tokoh Sumsel yang berbicara pada Forum Global Leader Summit dalam KTT Konferensi Perubahan Iklim 2015 – COP 21 yang berlangsung di Paris, Perancis. COP 21 yang berlangsung 30 November – 12 Desember 2015 tersebut melahirkan Paris Agreement yang merupakan pengganti Kyoto Protocol 1997 yang akan dimulai pelaksanaannya tahun 2020.
Berita Alex Noerdin di COP 21 menjadil viral di Indonesia karena saat itu Gubernur Sumsel dua periode tersebut (2008 – 2013 dan 2013 – 2018) tersebut bertemu dan berbicara empat mata dengan aktor dunia yang juga aktivis lingkungan Leonardo DiCaprio. Foto Alex Noerdin bersama aktor Film Titanic tersebut pun viral di internet. Menurut Alex Noerdin saat itu, Leonardo DiCaprio berencana datang ke Indonesia dan melihat langsung kondisi kebakaran hutan dan lahan khususnya di Sumsel. Namun aktor kelahiran 11 November 1974 tersebut urung berkunjung.
Tokoh kedua dari Sumsel yang juga berbicara di KTT Perubahan Iklim 2016 tersebut adalah Kol Inf Kunto Arief Wibowo saat menjabat Komandan Korem 044/ Garuda Dempo. Kunto Arief Wibowo berbicara pada COP 22 yang dihelat di Marrakesh, Maroko pada 7 – 18 November 2016.
Kunto Arief Wibowo yang kini berpangkat Brigadir Jendral dan menjabat Komandan Korem 032/Wirabraja, Sumatera Barat (Sumbar), di COP 22 berbicara ”Local Innovative Forest Fire Prevention and Land Supression.” Saat itu juga ditayangkan film tentang Bios 44 yang digunakan untuk pemadaman kebakaran hutan dan lahan di Sumsel.
Tokoh ketiga adalah Bupati Muba Dodi Reza Alex yang menjadi pembicara dua kali pada Forum KTT Perubahan Iklim, yaitu pada COP 24 dan COP 25. Pada COP 25 di Madrid, Paviliun Indonesia selain menghadirkan pembicara dari Indonesia juga dijadwalkan meghadirkan pembicara Al Gore mantan Wakil Presiden Amerika Serikat era Presiden Bill Clinton. Al Gore dikenal sebagai adalah aktivis top perubahan iklim. Al Gore diganjar hadiah Nobel Perdamaian pada 2007.
Pada KTT Perubahan Iklim Al Gore bersama Nicholas Stern dan Jeffrey Sachs adalah pembicara tetap. Nicholas Stern adalah ekonom penulis buku ‘The Economics of Climate Change’ yang menjadi kitab rujukan global dalam menghitung dampak perubahan iklim dalam paradigma ekonomi. Kemudian Profesor Jeffrey Sachs adalah ekonom Amerika Serikat yang juga Direktur The Earth Institute di Universitas Columbiai kenal sebagai mahaguru pembangunan berkelanjutan yang memiliki banyak pemikiran tentang pengentasan kemiskinan.
KTT Perubahan Iklim dan COP
Jika kemudian ada yang bertanya, apa hebatnya COP dan KTT Perubahan Iklim? Bukan seberapa hebat jawabannya, tapi betapa penting membahas perubahan iklim atau pemanasan global yang terjadi di bumi kita. Selain isu terorisme dan pelanggaran HAM, maka isu perubahan iklim cukup membuat PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) kalang kabut. Pada Maret 2008, Dewan Keamanan PBB mengesahkan perubahan iklim sebagai isu hak asasi manusia (HAM).
Perubahan iklim terutama disebabkan oleh meningkatnya aktifitas manusia yang dimulai sejak revolusi industri tahun 1900. Karbon dioksida (CO2) dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batubara, minyak bumi dan gas, selain itu CO2 juga bisa dihasilkan dari penebangan hutan (deforestasi). Data historis mencatat konsentrasi CO2 meningkat dari tahun ke tahun dan peningkatan secara drastis.
Peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer akan mengakibatkan naiknya temperatur permukaan bumi yang dapat meyebabkan melelehnya es di kutub utara dan kutub selatan, sehingga tinggi muka air laut pun akan mengalami peningkatan.
Perubahan iklim global ini akan terus terjadi dengan peningkatan aktifitas kegiatan manusia yang menghasilkan emisi karbon, dan selanjutnya akan terjadi kenaikan temperatur global. Berdasarkan simulasi model MERGE – (Model for Evaluating the Regional and Global Effects of Greenhouse Gas Reduction Policies) bahwa konsentrasi karbon global akan naik mencapai titik tertinggi sebesar 500 ppm pada tahun 2060 dan selanjutnya akan turun dengan peningkatan konsumsi teknologi rendah emisi (carbon-free technology) dalam total energi mix dunia. Pada tahun 2100 temperatur global akan meningkat mencapai 3 derajat Celscius.
Sejak Sidang Umum PBB tentang ‘Perubahan Iklim’ tahun 1988, dunia disibukkan dengan isu pemanasan global (global warming). PBB sontak menugaskan World Meteorological Organization (WMO) dan United Nation Environment Programe (UNEP) mengumpulkan para ilmuwan terkemuka dalamm wadah Intergovernmental Panel On Climate Change (IPCC). Forum Ini bertugas menilai besaran, skala, dan masa waktu perubahan iklim, mengukur implikasi, dampak, serta menyarankan strategi penanggulangannya.
Sejak saat itu KTT Perubahan Iklim yang kelahirannya berawal dari Konvensi Perubahan Iklim PBB atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dihasilkan di New York, Amerika Serikat tanggal 9 Mei tahun 1992 dan ditandatangani di Rio De Janerio, 4 Juni tahun 1992 pada Earth Summit atau Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT Bumi), terus berlanjut sampai kini.
Dua tahun kemudian, pada 21 Maret tahun 1994, UNFCCC atau Konvensi Perubahan Iklim mulai diberlakukan. Dengan berlakunya Konvensi Perubahan Iklim maka dimulailah pertemuan para pihak atau Conferences of the Parties (COP) yang berfungsi untuk mempertemukan pihak-pihak yang menyepakati berbagai komitmen dan tindak lanjut UNFCCC. Conference of the Parties (COP) pertama diadakan di Berlin, Jerman pada ahun 1995 yang menghasilkan Mandat Berlin (Berlin Mandate).
Kemudian berlanjut COP 2 yang berlangsung di Jenewa, Swis 1996 dan COP 3 di Kyoto, Jepang 1997. COP 3 menghasilkan Protokol Kyoto atau Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change. Protokol ini merupakan pelaksanaan dari UNFCCC 1992 dan bersifat mengikat secara hukum atau legally binding.
COP berlangsung setiap tahun dengan berbagai dinamikanya dan Indonesia selalu hadir. Setiap pertemuan perundingan rezim perubahan iklim berlangsung sangat dinamis. Perubahan dari tahun ke tahun dari perundingan satu ke perundingan lainnya sering tidak dapat diduga.
Seperti pada COP ke 6 berlangsung di Den Haag, Belanda sempat deadlock dan rezim perubahan iklim terancam terhenti dikarenakan adanya perbedaan pendapat di antara negara-negara maju. Namun berkat kepiawaian diplomasi Jan Pronk sebagai Presiden COP 6 maka diadakan pertemuan kembali yang dikenal dengan COP 6 bis (tambahan) dan mencapai kesepakatan penting dengan menghasilkan Bonn Agreement.
Masalah lainnya juga terjadi pada proses perundingan untuk menggantikan Protokol Kyoto 1997 yang kerap gagal, bahkan beberapa negara maju yang termasuk seperti Jepang, Russia, dan Kanada sudah tidak ingin berpartisipasi lagi dalam rezim Kyoto. Namun kemudian, sebagai pengganti Protokol Kyoto 1997 berhasil disepakati melalui Paris Agreement 2015 yang ditandatangani pada tanggal 22 April tahun 2016. ●