Parang Sebagai Alat Intelektual Masyarakat Sumsel di Masa Lalu
Palembang, BP
Apa beda parang dan laptop, ternyata kedua-duanya bisa menjadi sumber masalah , terutama sumber kriminal jika dilihat dari perputaran waktu, karena berdasarkan perputaran waktu nilai parang dan laptop akan dianggap sebagai sumber masalah terutama sumber kriminal, namun keduanya juga dianggap sebagai alat intelektual masyarakat.
Menurut sosiolog Sumatera Selatan (Sumsel) Saudi Berlian,dulu, untuk berkreasi dengan tulisan-tulisan masyarakat zaman dulu memerlukan parang untuk menulis di media bambu dan inspirasi tersebut tidak bisa diatur sehingga tidak bisa melepaskan parang dalam kehidupan mereka sehari-hari.
“ Kadang-kadang lagi bejalan di tengah hutan di kampung keluar inspirasi, kalau begitu apa mereka harus pulang dulu ambil parang lalu nebang bambu itu bisa membuat inspirasinya hilang, karena inspirasi itu sekejap datangnya sehingga parang itu langsung dibawa kemana-mana, waktu dapat inspirasi lalu cabut parang tebang bambu dan langsung tulis,” kata pria yang berprofesi sebagai dosen disalah satu perguruan tinggi terkemuka di Sumsel ini, Minggu (28/7).
Kalau di Sumsel menurutnya, dulu, tulisan yang di tulis dengan huruf kaganga dengan media bambu namun alat tulisnya menggunakan parang oleh masyarakat.
Artinya menurut Saudi, parang dulu merupakan alat yang tidak bisa dipisahkan dari kegiatan intelektual masyarakat dimasa lalu.
“ Orang bawa parang zaman dulu sekarang sama orang bawa laptop, ada inspirasi langsung buka langsung ketik di laptop, kalau zaman sebelum kita bawa buku kemana-mana, dapat inspirasi langsung tulis di buku,” katanya.
Namun parang sebagai senjata ada di Undang-Undang Darurat No 12 tahun 1951 tentang senjata tajam menganggap parang sebagai sumber kriminal.
Siapa tahu menurutnya 100 tahun kedepan, pemerintah bisa menganggap laptop bisa menjadi sumber kriminal lantaran bisa mengendalikan bom dan bisa membuat bom di laptop.
“Namun di daerah ada pondok yang justru menjadi lokasi pengerajin besi salah satu membuat parang ditahun 1938-1939 ada dorongan masyarakat untuk alih profesi menjadi pengelola kebun karet lalu dikasih bantuan bibit, pupuk oleh pemerintah Belanda yang tujuannya agar masyarakat tidak membuat senjata disamping untuk mengatasi inflasi di tahun 1935,” katanya.
Tanam karet itu dengan cara membuka kebun dan itu merupakan sumber pendapatan ekonomi masyarakat dan itu dianggap efektif untuk alih profesi dari pengerajin parang atau pandai besi menjadi berkebun karet.
“ Ada masyarakat beralih dari pengerajin pandai besi ke kebun karet, tapi ada juga masyarakat kita yang tetap menekuni profesi sebagai pandai besi dengan alasan inilah profesi yang mereka tekuni bertahun-tahun ,” katanya.#osk