Tipu Muslihat Raffles Taklukkan Palembang (1)

Benteng Kuto Besak
BERITA mengenai pembantaian (kejadian Loji Sungai Aur atau dikenal dengan kejadian Palembang Massacre) tersebut membutuhkan waktu ber-minggu-minggu untuk sampai ke Batavia. Jika Raffles mengalami kepanikan yang menciutkan keberanian ketika dia mendengar bahwa hal buruk terjadi di Palembang, dan dengan kalut mencari di antara tumpukan korespondensi lamanya, mencoba keras untuk mengingat apa sesungguhnya yang dia telah tulis kepada Sultan Badaruddin dari Malaka pada bulan-bulan yang lalu, dia tidak menunjukkan itu dalam Surat pertamanya kepada Minto (Gilbert Elliot-Murray-Kynynmound, 1st Earl of Minto atau Lord Minto (lahir di Edinburgh, 23 April 1751 – meninggal di Stevenage, Hertfordshire, 21 Juni 1814 pada umur 63 tahun) adalah seorang politikus dan diplomat Inggris. Ia pernah menjabat sebagai Gubernur-Jenderal India dari tahun 1806 – 1813) mengenai permasalahan tersebut.
Sebelumnya Sultan Mahmud Badaruddin II khawatir akan diserang Inggris karena adanya orang Belanda dan orang asing lainnya di Palembang. Orang-orang Belanda kemudian mau dipindah lokasikan ke daerah lain yang belum tahu dimana lokasinya.
Dibawalah pasukan dan pegawai Belanda menggunakan perahu-perahu rombongan utusan Sultan dari Loji Sungai Aur. Sesampai ditengah perjalanan di hilir Sungai Musi tepat pada tanggal 14 September 1811 rombongan perahu yang membawa sebanyak 87 orang rombongan Belanda dan Prancis berhenti, orang-orang Belanda melakukan perlawanan dan terjadilah peristiwa penyembelihan massal terhadap orang-orang Belanda kemudian perahunya ditenggelamkan di hilir Sungai Musi atau tepatnya di Muara Sungsang yang kemudian dikenal dengan peristiwa Palembang Massacre.
Seminggu setelah peristiwa Palembang Massacre, Loji Sungai Aur di bumihanguskan dan diratakan dengan tanah. Sebuah kisah mengatakan bahwa setelah Loji Sungai Aur diratakan dengan tanah, bagian atas loji tersebut kemudian ditimbun dan ditanami dengan rerumputan dan tumbuhan lainnya agar lokasi dan peristiwa tersebut tidak diketahui oleh Inggris dan Belanda.
Pada 13 Januari 1812, dia menulis mengenai berita yang dia dapat di tengah pejalanan pulang dari Yogyakarta: “Tampak bahwa Sultan [Palembang], sebagaimana diharapkan, memperkenankan pabrik Belanda [pos dagang] untuk tetap ada hingga dia mendengar jatuhnya Jawa, dan seperti seorang penjahat (secara tak terduga) memerintahkan mereka pergi. Satu laporan, yang aku khawatirkan sangat benar, mengatakan bahwa dia [memperkenankan] mereka diculik dan dibunuh karena mereka tidak pernah mencapai pelabuhan Eropa.”

Kata “secara tak terduga” di dalam kurung itu mempakan usaha kecil yang dilakukan Raffles untuk melindungi dirinya. Tidak ada yang tak terduga mengenai penghuni permukiman
Belanda yang diperintahkan pergi’ atau bahkan dibunuh, dua belas tahun lebih awal, ketika berkeringat menulis di Malaka, Raffles sendiri telah berusaha keras membujuk Sultan Badaruddin untuk ‘mengusir Belanda dari Palembang.
Palembang terletak di pedalaman Sumatra di belakang garis pantai berhutan bakau lebat dimana suatu kepulauan menjadi perpanjangan selatan daratan Asia, titik-titik diujung Semenanjung Melayu.
Inggris hanya tahu sedikit mengenai kota itu sendiri dari apa yang diketahui dari catatan tidak langsung Belanda yang mengadakan perjanjian dengan tempat tersebut.
Palembang ketika itu sangat terpencil letaknya di pusat tempat lahir bahasa Melayu, dan penduduk asli sesungguhnya adalah orang Melayu. Keluarga kerajaannya merupakan keturunan Jawa dan semacam bahasa Jawa rendah masih merupakan bahasa istana.
Namun upacara adiluhung gaya Yogyakarta dan tradisi pra-Islam tidak ditemukan disana. Sultan membuat legenda bahwa keluarganya adalah keturunan Nabi Muhammad, selain klaim memiliki darah raja Jawa Hindu. Mereka telah lama menggunakan nama Arab; dikabarkan bahwa penduduk pribuminya adalah “kaum pengikut Muhammad yang bersemangat namun percaya takhayul dan di antara penduduk ada “sejumlah orang Arab pemuka agama yang memperoleh kekuasaan atas orang pribumi”. Istananya memiliki dinding benteng yang kuat; hutan yang mengelilinginya penuh harimau, dan ada suku-suku penyembah berhala di dalam hutan. Jalanan tidak berguna, dan aliran Sungai Musi yang berkelok sepanjang 96 kilometer merupakan satu-satunya akses. Palembang memang seperti tempat khayalan-dengan tokoh-tokoh yang pas: orang Melayu, orang Arab, istana yang runtuh yang bakal menjadi latar novel petualangan karya Joseph Conrad, masih dalam abad tersebut.
Selama bulan-bulan yang sibuk di Malaka pada tahun sebelumnya, Raffles mempekerjakan sepasang agen pribumi untuk membawa pesan hilir mudik melewati Sungai Musi. Nama mereka Tunku Raden Sharif Mohamed dan Sayyid Abubakar Rumi,13 dan pada 10 Desember 1810, Raffles memulai korespondensi dengan usaha sengaja menakuti Sultan Badaruddin:
“Aku telah mendengar dengan sangat cemas tentang tibanya angkatan perang Belanda di muara Sungai Palembang, dan aku segera mengirimkan surat ini untuk melindungi Anda dari niat buruk Belanda, suatu bangsa yang berhasrat memperkaya diri dengan harta benda Yang Mulia, karena Belanda sudah melakukan hal tersebut dengan setiap Pangeran Timur yang memiliki hubungan dengannya .
Aku ingin menyarankan Yang Mulia untuk segera mengeluarkan mereka dari wilayah Anda, namun jika Yang Mulia memiliki alasan untuk tidak melakukannya dan berkeinginan bersahabat dan membantu Inggris aku menguasai banyak kapal perang, dan jika aku rasa perlu melakukannya, aku bisa menyingkirkan Belanda meski mereka berjumlah 10.000 “
Armada Belanda yang digosipkan itu tampaknya memang ada, namun kepentingan militernya di Musi mungkin untuk menyokong garnisun Belanda yang ada, bukan untuk menggulingkan Badaruddin, dan apa pun yang terjadi, tak lama kemudian armada tersebut mengangkat sauh dan berlayar menuju selatan.
Raffles mungkin tidak menghasut pembunuhau pada tahap itu, namun dia jelas menghasut kebencian. Surat berikutnya yang dia kirim kepada Badaruddin menyatakan bahwa Belanda adalah “bangsa yang buruk”, dan bertanya-tanya mengapa Sultan masih memperkenankan mereka “menetap dj Palembang”. Kemudian dia menyebut Belanda sebagai bangsa dengan “watak jahat, tidak setia, berjiwa tamak yang suka merampok”.
Balasan dari Sumatra Selatan tidak pernah seteratur atau seberlebihan surat-surat yang dikirim dari Malaka. Mula-mula, Sultan Badaruddin tampaknya sedikit curiga akan status utusan Raffles (dan benar, Radén Mohamed dan Sayyid kemudian dituduh sebagai petualang yang tidak bisa dipercaya). Mereka jelas bukan wakil kerajaan yang resmi, dan meski Raffles membuat tentang kekuasaannya untuk mengenyahkan 10.000 orang, hanya ada sedikit bukti nyata kekuatan Inggris. Sangat masuk akal bagi Palembang untuk membatasi pertaruhannya saat itu daripada mengambil risiko menghadapi kemurkaan Belanda seandainya janji Inggris terbukti tidak dipenuhi.
Namun selama bulan-bulan mendatang, ketika tahun 1810 berganti 1811 dan persiapan armada sedang dilakukan di India, surat-surat terus dikirim antara Malaka dan Palembang. Badaruddin menegaskan persahabatannya dengan Inggris dan ketidaksukaannya terhadap Belanda, namun dia masih cenderung mengulur-ulur waktu. Dia tampaknya juga menunjukkan percikan hati nurani yang merasa bersalah: Belanda dibiarkan masuk ke dalam kerajaan dengan ketentuan yang layak oleh leluhurnya, dan mereka membawa keuntungan tertentu untuk istana selama bertahun-tahun, katanya.
Namun, Raffles semakin giat dalam usahanya untuk membuat sejumlah rencana pasti dan menyingkirkan Belanda dari Palembang.
Pada Maret dia mengirimkan perjanjian sesungguhnya menyebrang Selat Malaka untuk ditandatangani Badaruddin.
Perjanjian tersebut penuh dengan kata-kata lebih kasar bagi Belanda, menyatakan bahwa sesudah penandatanganan perjanjian istana Palembang akan membatalkan seluruh perjanjian dan kesepakatan dengan Belanda, mendeklarasikan kemerdekaan total, dan kemudian menyetujui “tidak akan pernah menerima kembali kedatangan Residen semacam itu. atau agen kekuasaan asing apa pun kecuali lnggris, yang akan memiliki kebebasan untuk mendirikan pabrik sebagaimana selanjutnya.
” Isinya yang paling mendesak adalah klausul kedua yang menyatakan bahwa ‘Yang Mulia Sultan dengan ini menyetujui mengeluarkan dari wilayahnya Residen Belanda yang sekarang dan seluruh orang yang bertindak di bawah wewenang Pemerintah Belanda.”
Para ahli sejarah Belanda yang patriotik dan marah sudah sering membahas bagaimana frase ‘mengeluarkan dari wilayah“ disampaikan dalam versi Bahasa Melayu setempat yang dikirimkan kepadn Sultan Badaruddin. Versi aslinya telah hilang, namun dalam salinan kasar yang kelak muncul kata-kata seperti “buang habiskan sekali-kali“. Terjadi debat yang tidak perlu akan bagaimana sesungguhnya menterjemahkan frase sangat sederhana itu yang sebagaian besar penutur bahasa Melayu atau Indonesia jelaskan hampir seperti ‘buang” [secara harfiah] dam “habiskan hingga tuntas” jelas mengancam, namun masih ambigu sebagai instruksi,
Para ahli sejarah penutur bahasa lnggris dari tim Raffles kemudian menganggap salinan kasar tejemahan perjanjian itu: tidak bisa di percaya meski di frase yang sangat serupa~penuh dengan “throwing out” (buang) dan ‘striking’ (serang)-muncul dalam naskah asli surat-surat Raffles berbahasa Melayu lain ke Palembang yang masih ada.
Semua itu adalah masalah yang cukup sederhana, dan bahkan jika bahasa Melayu Raffles tidak sebaik yang sering diklaim beberapa orang, dia masih mengert; intisarinya, dan tentu kesimpulannya, ketika terjemahan dari tulisan bahasa Inggrisnya dibacakan kepadanya.
Raffles juga melampirkan penjelasan isi perjanjiannya untuk Sultan Badaruddin, memberitahu Sultan bahwa kalau dia menghargai kemerdekaannya, dia harus mengenyahkan beban penjajah Belanda yang menekannya, tidak peduli seberapa ringannya-sebelum Inggris merampas Jawa. Bagaimana pun keadaan sebenarnya, orang Eropa menganggap Palembang sebagai jajahan Belanda Jawa; kalau Batavia jatuh, Palembang menjadi milik Inggris dan tidak akan ada ruang untuk negosiasi kembali dengan tuan yang baru. #osk