Usulan Raperda Pajak Daerah, Pemprov Sumsel Masih Belum Sepakat
Palembang, BP
Wakil Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) H Ishak Mekki menghadiri Rapat Paripurna XXXIX DPRD Provinsi Sumsel tahun 2018 Pembicaraan Tahap I dengan acara Penyampaian Pendapat Gubernur terhadap 2 (dua) Rancangan Peraturan Daerah usul inisiat’if DPRD Provinsi yang disampaikan pada hari Senin tanggal 22 Januari 2018 yang lalu, Kamis (25/1).
Rapat paripurna di pimpin Wakil Ketua DPRD Sumsel H Chairul S Matdiah SH dan di damping jajaran Wakil Ketua DPRD Sumsel M Yansuri dan para undangan dan kepala dinas .
Menurut Ishak, diajukannya 2 (dua) Raperda usul inisiatif Dewan ini merupakan salah satu manifestasi kerja keras serta kesungguhan DPRD Provinsi Sumsel untuk melaksanakan salah satu fungsinya yaitu fungsi legislasi dalam upaya melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya untuk mendukung suksesnya pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di Sumatera Selatan.
Mengenai Raperda tentang perubahan kedua atas peraturan daerah Nomor 3 tahun 2011 tentang pajak daerah menurut Ishak, Pemprov Sumsel masih kurang sepakat.
Karena pihaknya, memerlukan gambaran mengenai dasar perluasan objek pengenaan PBB-KB untuk sektor usaha ekonomi di bidang industri, perkebunan, pertambangan, dan kehutanan, serta besaran perhitungan tarif pengenaan PBB-KB pada sektor tersebut.
“Disamping itu pembahasan Raperda ini agar dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, untuk itu kami menyarankan agar dapat dikonsultasikan dengan Kementerian Dalam Negeri cq Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah,” katanya.
Selain itu menurut Ishak, sebagaimana dimaklumi bahwa pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadj atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undangundang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“Sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bahwa salah satu jenis pajak provinsi adalah pajak bahan bakar kendaraan bermotor yaitu berupa semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk kendaraan bermotor., “ katanya.
Pemungutan pajak bahan bakar kendaraan bermotor menurutnya, dilakukan oleh penyedia bahan bakar kendaraan bermotor yaitu produsen dan/atau importir bahan bakar kendaraan bermotor, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri berdasarkan harga jual bahan bakar kendaraan bermotor sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai, meliputi pertamax, premium, solar, gas dan sejenisnya yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan di air.
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 1 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 20 1 1 tentang pajak daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2017, Pemerintah Provinsi Sumsel telah menetapkan tarif dasar pengenaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebesar 7,5%, hal ini dirasakan belum optimal sehingga akhir-akhir ini mengalami kesulitan dalam mencapai target penerimaan, disamping adanya beberapa kendala dam hambatan dalam pelaksanaan di lapangan baik mengenai perhitungan dasar pengenaan maupun dalam penetapannya .
Memperhatikan, kondisi tersebut diatas diperlukan adanya pengaturan / peninjauan kembali terhadap Perda Nomor 3 Tahun 201 1 khususnya mengenai pajak bahan bakar .
“Kami menyambut baik usul inisiatif DPRD Provinsi Sumatera Selatan terhadap perubahan peraturan daerah ini, mengingat keberhasilan pemungutan pajak daerah sangat tergantung pada kerja sama dan kerja keras kita semua termasuk dukungan DPRD yang terhormat,” katanya.
Mengenai raperda tentang pengelolaan dan pelestarian ekosistem gambut menurutnya, Provinsi Sumatera Selatan memiliki lahan gambut terluas kedua di Pulau Sumatera setelah Provinsi Riau yang tersebar di 5 (lima) kabupaten yaitu Kabupaten Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin, Banyuasin, Musi Rawas, dan Muara Enim.
“Sebagaimana diketahui bahwa lahan gambut sangatlah penting artinya karena merupakan sistem penyangga kehidupan yang . berfungsi sebagai sumber air, sumber pangan dan menjaga kekayaan aneka ragam hayati, dan berfungsi sebagai pengendali iklim global. Disamping itu juga lahan gambut berperan dalam menjaga dan memelihara keseimbangan lingkungan. Secara hidrologi, ekosistem lahan gambut sangat penting dalam sistem kawasan hilir suatu daerah aliran sungai karena kemampuannya menyerap air sampai dengan 13 (tiga belas) kali bobotnya,” katanya.
Sehubungan dengan hal tersebut maka idealnya pembangunan perekonomian yang memanfaatkan lahan untuk perkebunan dan pertanian haruslah berwawasan lingkungan sehingga dapat menciptakan “Pembangunan berkelanjutan”, untuk itu semua pihak yang terkait dalam menyusun rencana pembangunan agar selalu memperhatikan aspek lingkungan dengan menyeimbangkan antara pemeliharaan lingkungan dengan pemenuhan kebutuhan manusia, dimana manusia memerlukan kebutuhan sandang, pangan, dan papan yang diperoleh dari alam, sedangkan alam itu sendiri haruslah dilestarikan sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Sebagaimana dimaklumi menurutnya, bahwa hutan dan/atau lahan merupakan sumber daya alam yang sangat potensial untuk dimanfaatkan bagi pembangunan dan juga sebagai penyangga ekosistem yang kondisinya terus menurun akibat eksploitasi serta kebakaran hutan/ lahan sehingga perlu dijaga kelestariannya dan dikelola dengan baik guna menunjang pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
Selain itu, penyebab utama kebakaran hutan dan lahan tersebut adalah akibat dari faktor alam dan faktor manusia karena tidak sengaja, lalai maupun kesengajaan. Oleh karena itu dalam pemanfaatan lahah gambut harus lebih berhati-hati, saat ini lahan gambut makin lahan, penebangan hutan, perambahan, dan kebakaran hutan / lahan.
Selama ini menurutnya, cukup banyak peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah di bidang pengelolaan, pengendalian dan pelestarian lingkungan hidup termasuk pengelolaan ekosistem gambut mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri dan berbagai surat edaran, akan tetapi pelaksanaan pengendalian dan pelestarian ekosistem gambut masih dirasakan sangat rendah yang disebabkan adanya ulah pihak yang kurang bertanggung jawab sehingga masih banyak terjadi/ditemukan kerusakan lingkungan termasuk kerusakan lahan gambut.
Sesuai ketentuan Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut, ditegaskan bahwa kegiatan pemanfaatan ekosistem gambut dengan fungsi lindung yang telah mendapat izin usaha dan belum ada kegiatan di lokasi, wajib menjaga fungsi hidrologis gambut dan dalam hal pemegang izin tidak melaksanakan kewajiban menjaga fungsi hidrologis gambut tersebut selama 2 (dua) tahun, maka izin usaha tersebut dicabut oleh pemberi izin.
Hal ini mennurutnya, menunjukkan bahwa pemerintah telah melakukan pengendalian terhadap pemanfaatan lahan gambut, namun masih banyak ditemukan pihak-pihak tertentu yang telah memperoleh izin akan tetapi tidak melaksanakan kewajiban menjaga fungsi hidrologis, untuk itu diharapkan dengan terbentuknya Raperda ini nantinya kita semua dapat melakukan pengawasan dan pembinaan secara lebih intensif agar kerusakan lingkungan hidup khususnya lahan gambut dapat di minimalisir.
“Selanjutnya kami menyarankan agar terhadap Raperda ini dapat dilakukan pengkajian yang mendalam dengan melibatkan para ahli, organisasi perangkat daerah, unit kerja dan instansi terkait sehingga tujuan dan sasaran pembentukan Raperda ini dapat tercapai, tentunya dengan tetap memperhatikan aspek kewenangan, lembaga/institusi yang bertanggung jawab untuk pelaksanaannya dan keselarasan dengan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi,” katanya.
Sedangkan Wakil Ketua DPRD Sumsel H Chairul S Matdiah SH mengatakan, pendapat Gubernur Sumsel mengenai dua raperda tersebut akan ditanggapi DPRD Sumsel yang akan disampaikan Badan Pembentukan Peraturan Daerah Provinsi Sumsel dalam rapat paripurna , Kamis (1/2) yang akan datang.#osk