Pencemaran Nama Baik Harus Dibuktikan di Pengadilan

Ketua Panja RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dari Menkominfo RI Henri Subiakto menegaskan, dalam revisi UU ITE pemerintah mengusulkan agar sanksi bagi tersangka pencemaran nama baik hanya dikenakan hukuman maksimal empat tahun penjara, sehingga harus melalui proses pengadilan.
“Selama ini hukuman bagi tertuduh pencemaran nama baik dihukum penjara maksimal enam tahun sehingga bisa langsung dipenjara meski tidak melalui proses pengadilan. Jadi harus dibuktikan di pengadilan apakah melanggar Pasal 27 (3) Dan definisi pencemaran nama baik serta SARA juga tidak ada,” tegas Henri Subiakto dalam forum legislasi RUU ITE di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (2/8).
Alasan tidak didefinisikan, kata Henri, karena generasi ke depan makin banyak berkomunikasi dan bergiat di dunia media social (cyber – medsos – maya). Sehingga aturan di dunia nyata dengan RUU ITE akan diberlakukan di dunia cyber dengan definisi berbeda-beda.
RUU ITE inisiatif pemerintah tersebut lanjut Henri, akan diselesaikan September 2016. Mahkamah Konstitusi (MK) sudah tiga kali memutuskan Pasal 27 ayat 1 tentang kesusilaan dan pasal 3 tentang pencemaran nama baiktidak bertentangan dengan UUD 1945. Hanya saja harus diproses pengadilan sebelum seseorang ditahan.
Dikatakan, RUU ITE penting mengingat perkembangan dunia cyber sangat dahsyat, massif, yang bisa dibaca dan disebar ke seluruh dunia dan bisa dimuat berulang-ulang. Tapi, semua berdasarkan delik aduan. Meski nama Presiden RI dicermarkan, namun tidak ada aduan, tidak akan diproses di pengadilan,” ujarnya.
Henri Menambahkan, RUU ITE terdiri dari 57 daftar inventarisasi masalah (DIM), 12 DIM tidak ada perubahan, 33 DIM sedang dibahas, dan 12 DIM hanya masalah redaksional.
Komisioner Komisi Penyiran Indonesia (KPI) Agung Suprio Sumengatakan, akhir tahun 2016 sekitar 10 televisi swasta akan habis masa berlaku penyiarannya, dan jika kesalahan mereka selama ini dah keterlaluan pihak KPI tidak merekomendasi perpanjangan masa penyiaran.
Menurut Agung, regulasi dan UU No.32 tentang penyiaran masih lemah, karena KPI hanya memberikan rekomendasi dan sanksi administrative, sehingga tidak membuat jera pemilik TV tersebut. KPI hanya menilai sesuai dengan PPP (Pedoman Perilaku Penyiaran), dan SPS (Standar Program Siaran).
Karena itu Agung meminta UU No.32 tersebut direvisi, agar masyarakat yang mengadukan dan merasa dirugikan bisa membuat jera pemilik TV. Apalagi media saat ini bukan sebagai agen yang netral, karena dikuasai pemilik modal. #duk