

Palembang, BP- Sultan Palembang Darussalam, Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) IV Jaya Wikrama RM Fauwaz Diradja SH Mkn, menegaskan bahwa Palembang telah menjadi pusat perdagangan rempah dunia sejak era Kedatuan Sriwijaya bahkan sebelum era Kedatuan Sriwijaya hingga Kesultanan Palembang Darussalam.
Pernyataan ini disampaikan dalamSeminar Nasional Strategi Kebijakan Pemberdayaan dan Budidaya Petani Rempah Nusantara dan Penandatanganan MoU, MoA dan IA , Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik , Fakultas Pertanian serta Fakultas Teknik Universitas Tamansiswa Palembang , termasuk Perpanjang MoU Universitas Tamansiswa (Unitas) Palembang dan Kesultanan Palembang Darussalam (KPD) untuk menjadi mitra dalam berbagai bidang, Selasa (20/5/2025) sore.
Dengan narasumber lain yang tampil Prof Suso Mourelo dari University Rey Juan Carios , Spanyol, Ketua Umum Sarekat Hijau Indonesia , Ade Indriani Zuchri M Sos dan Dosen Universitas Tamansiswa Palembang Dr Sisnayati ST MT di kampus Universitas Tamansiswa Paembang.
Juga hadir Pj Rektor Universitas Tamansiswa Palembang Desfitrina SE,M.Si dan jajaran civitas akademika Universitas Tamansiswa Palembang.
Dalam paparannya, SMB IV mengungkap bukti historis bahwa budaya bertanam telah ada sejak masa Sriwijaya, seperti tercatat dalam Prasasti Talang Tuo.
Di Prasasti Talang Tuo di mana dijelaskan Dapunta Hyang membuat taman untuk rakyat Sriwijaya yang didalam taman tersebut berisi tanaman –tanaman yang bermanfaat bagi rakyat Sriwijaya saat itu diantara Sagu, Tanum, Bambu, aren dan lain-lain.
“Saya lihat bahwa dari situ kita lihat bahwa budaya menanam itu sudah ada dari zaman Sriwijaya bahkan sebelum Sriwijaya . Jadi kebiasaan bertanam bukan pada ketika masa kesultanan saja , tapi sejak masa kerajaan Sriwijaya sudah ada,”katanya.
Dijelaskannya sebagai kota pelabuhan kota Palembang , banyak sekali dikunjungi bangsa asing yang berniaga di kota Palembang, mulai dari Cina, Arab, India, dan Eropa
“Jadi Palembang ini sudah terkenal sampai ke mancanegara sejak dari zaman dahulu karena adanya pedagang-pedagang bangsa-bangsa yang menetap di kota Palembang. Sebagai buktinya di Palembang ada kampung kapitan, itu bangsa Cina di situ pada dahulunya , terus kalau untuk bangsa Eropanya tinggal di Loji Sungai Aur dan juga ada kampung Al-Munawar, di situ tinggal orang Arab. Jadi Palembang sudah sangat heterogen pada saat itu, dan orang Melayu di mana? Orang Melayu di sebelah ilir, yaitu bersama Sultan. Tapi yang orang Melayu di seberang ulu juga ada. Jadi selain orang Melayu dan pribumi dilarang untuk ditinggal di ilir, makanya pada sebelum kesultanan tidak ada kampung sebelah ilir itu kampung orang asing, adanya kampung kampung Melayu,”katanya.
Kemudian karena kebesaran Sriwijaya tersebut, menurut SMB IV komoditas banyak dijual di Palembang .
“Kalau kita lihat bahwa di Sungai Musi tersebut bukan hanya ditemukan rempah-rempah, tapi kalau kita lihat sekarang Sungai Musi saja yang ada di bawahnya itu ditemukan keramik-keramik kuno, senjata-senjata yang ditemukan oleh penyelam-penyelam pada masa kini. Artinya orang Cina pada masa dahulu telah berdagang tembikar, berdagang kain sutra itu di kota Palembang. Dan mereka itu berdagang itu misalnya bertukar barter dengan sesuatu. Apalagi di masa lalu kita patokannya dolar Spanyol. Jadi kalau zaman dulu perhitungan kesultanan aja ataupun perhitungan VOC itu dasarnya itu adalah dolar Spanyol,”ktanya.
Jadi setelah pada masa Sriwijaya, karena letaknya strategis menjadikan Palembang sebagai pusat perdagangan dan kebudayaan di mana Palembang pernah menjadi pusat pembelajaran agama budha di Bukit Seguntang salah satu pelajarnya adalah It Tsing.
“Selanjutnya setelah Sriwijaya jatuh, ada masa kekosongan datanglah Laksamana Cheng Ho yang mengaturjalur perdagangan perairan di Palembang . Kenapa? Karena setelah Sriwijaya, perdagangan di jalur-jalur yang biasa dilewati oleh pedagang-pedagang Cina ini terancam oleh bajak laut atau Lanun, bernama Chen Zuyi , yang kemudian ditangkap dan dibawa oleh Laksamana Cheng Ho pergi ke Kaisar pada masa dahulu. Setelah bajak laut tidak ada, Majapahit menempatkan orangnya di sini, yaitu Aryodamar atau Aryodillah yang menjadi penguasa lokal untuk mengatur perdagangan dan menjaga kota Palembang,”katanya.
Apalagi menurut SMB IV pada masa Kerajaan Palembang dan era Kesultanan, Palembang Darussalam , Palembang menjadi daerah perdagangan berbagai komunitas yang akan dieksport ke Eropa.
“Jadi pada masa dahulu, pada masa Kesultanan itu, atau sebelum Kesultanan itu pada masa Cina, itu belum hangat lada atau rempah-rempah dari kota Palembang. Tapi masih dari orang-orang mencarinya dari Maluku. Kita adalah tempat persinggahan rempah-rempah utamanya adalah pala dan cengkeh. Di kita mulai rame adalah sahang yang mulai kita rame itu atau kita mulai ramai merica itulah yang kemudian lada yang kemudian membesarkan kedanan Palembang Darussalam,”katanya.
Komoditas rempah-rempah menurutnya bukan hanya klaim dari Palembang saja, tapi juga berasal dari wilayah-wilayah seperti Muara Rawas, dari Uluan Palembang.
“Beberapa produk yang dihasilkan Palembang, sebagian besar dieksplor antaranya: Rotan, Getah Damar, Damar wangi, Gading gajah, Emas, Pasir, Pinang, Kayu manis, Nila, Lada, Tembakau, Kemenyan, Karet dan berbagai kerajinan tembaga dan peralatan kuningan dan tembikar serta sebagainya,”katanya.
Sedangkan produk tambang emas menurutnya banyak daerah Rejang Lebong , sulfur dan besi di pulau Belitung.
“Kita sudah punya tambang emas, sampai sekarang masih ada yang mesti Rejang Lebong itu,. Sebenarnya tambang emas sebesar Palembang itu di mesti Rejang Lebong itu masih ada sampai sekarang,”katanya.
Selain itu , kerajinan kain di Palembang dulu menurutnya memiliki pasar yang bagus karena keindahan dan kualitas benang yang bagus.
“Dari Palembang mulai dari sarung, penutup kepala, songket dan produk lainnya menjadikan primadona ekspor dari Palembang. Jadi ekspor kain songket Palembang itu bukan hanya diterima di sini tapi sampai juga ke wilayah lain seperti Padang, Sumatera Utara. Semua itu mengidolakan songket-songket yang dibuat oleh Palembang,”katanya.
Mengenai Lada Palembang menurutnya pada awalnya Palembang bukanlah penghasil utama lada. Namun sejak abad ke-15 menjadi salah satu komunitas yang penting yang dikembangkan di Sumatera, diantaranya Palembang.
“Jadi sejak abad ke-15 baru lada itu mulai dikembangkan di Palembang karena lebih cepat tumbuh dan bagus kualitasnya. Wilayah penghasil lada yaitu uluan Palembang mulai dari Lahat, Pagaralam, Muara Enim, Ranau, selain itu beberapa pohon tipang dan kayu gaharu ditanam di tempat ini. Bangka juga merupakan wilayah Kesultanan Palembang Darussalam yang juga penghasil lada yang besar juga. Jadi lada Palembang baru sejak abad ke-15 kalau saya lihat mulai dikembangkan. Dan jangan salah, jadi mereka juga kopi belum masuk pada saat itu, belum jadi primadona. Jadi kopi belum masuk, nanti baru abad ke-20, 1920 baru kopi masuk ke Palembang,”katanya.
Kontrak pertama lada Palembang dan VOC pada tahun 1641 yang kemudian diberikan hak monopoli pada tahun 1642. Kenapa VOC minta hak monopoli dan Palembang juga mau memberikan karena pada saat itu Palembang dalam pengawasan Banten, dijaga Banten perdagangannya. Dan Palembang ingin melepaskan diri dari pengawasan Banten untuk kemudian menarik VOC supaya ikut menjual, ikut membeli dari Palembang.
Dan Banten tidak berani melawan VOC pada saat itu. Namun belakangan VOC kemudian agak berbuat kurang bijak dengan Palembang seperti melakukan penahanan kapal, suka mengambil pajak sepihak sehingga Kerajaan Palembang memberikan pelajaran kepada VOC sehingga terjadi perang Palembang sehingga Kraton Kuto Gawang hangus di bakar VOC di tahun 1659.
“Sedangkan tanaman lada di Palembang ini kemudian menggunakan sistem libang tukon, yaitu cara masyarakat Palembang dengan masyarakat uluan untuk memperoleh tanaman lada. Libang merupakan menukar sebagian komoditas dengan barang yang disediakan Sultan, seperti garam dan kain dan barang impor lainnya, sedangkan tukon yaitu membeli komoditas dengan uang dengan harga yang ditentukan oleh Sultan,”katanya.
Sedangkan Prof Suso Mourelo dari University Rey Juan Carios , Spanyol menjelaskan pertama kali dia datang ke Indonesia, sebenarnya ingin menemukan sejarah, histori, dan gambar atau imajinasi tentang rempah-rempah yang selama ini itu hidup di Indonesia.
“Jadi kali pertama kali datang ke Indonesia itu tahun 2002, dan tujuannya adalah ke Sulawesi Selatan dan Ternate. Jadi dia mendapatkan gambaran bahwa rempah-rempah itu terutama lewat jalur rempah itu banyak berhenti di Ternate dan Sulawesi Selatan,”katanya.
Pada saat itu dia berpikir rempah-rempah di Indonesia ini terutama di dua wilayah itu, itu sangat priceless, tidak bernilai. Dan itu banyak dipergunakan selain untuk kebutuhan sehari-hari.
Indonesia menurutnya termasuk nomor 4 eksportir rempah di dunia setelah Vietnam, India, Vietnam, China. Dan ke-18 untuk processing, yaitu rempah-rempah yang sudah diproses.
“Jadi urutan ke-18 negara yang menghasilkan rempah-rempah yang sudah diproses. Dan sesungguhnya ini sebenarnya hal yang sangat mengkhawatirkan. Padahal secara kuantiti kita punya banyak rempah-rempah, tetapi kualitasnya masih kalah jauh dengan 3 negara tersebut,”katanya.
Jadi rempah-rempah ini menurutnya bukan sekedar komodititapi sebagai kehidupan, rempah-rempah ini juga berarti sebagai identitas, sebagai soul atau jiwa bagi masyarakat terutama petani.
“Nah rempah-rempah ini juga di masa depan ini akan memberikan sumber kehidupan yang baik, yang lebih sejahtera daripada kepada petani-petani kita,”katanya.
Ketua Umum Sarekat Hijau Indonesia , Ade Indriani Zuchri M Sos menambahkan Indonesia memiliki lebih dari 7.000 varian rempah-rempah di dunia.
“Tetapi sampai saat ini tidak banyak data soal 7.000 varian rempah-rempah itu. Dia sudah mencoba menggali lewat berbagai data dari pemerintah, kemudian universitas, pusat studi dan sebagainya, tetapi itu tidak ditemukan. Padahal banyak sekali nama-nama rempah-rempah yang sebenarnya ada tetapi tidak bisa ditemukan datanya,”katanya
Dia mencontohkan Kapulaga yang hingga kini tidak punya data soal Kapulaga .
“Nah seharusnya sebagai wilayah atau negara yang punya kekayaan rempah-rempah, kita harusnya punya data itu, karena itu kami akan membuat pusat studi rempah Indonesia, yang nantinya itu mudah-mudahan akan menjadi tonggak atau awal untuk mengumpulkan data-data rempah-rempah atau sebagai bank data rempah-rempah di Indonesia, yang nantinya itu akan dapat dipergunakan untuk kebutuhan penelitian dan universitas atau akademi. Mudah-mudahan ini bisa dimulai tahun mendatang,”katanya.
Sedangkan Dosen Universitas Tamansiswa Palembang Dr Sisnayati ST MT berbicara tentang teknologi dan inovasinya dan aplikasi dalam dunia rempah.
“Jadi di sini kita batasi kita pengolahan rempah-rempahnya. Jadi pengolahannya dari cita rasa, aroma dan warna alami. Pada umumnya rempah-rempah digunakan untuk produk-produk pangan, kecantikan dan sebagai obat-obatan Jadi rempah-rempah itu dibagi empat Rempah atau spices, Herb, Herbal Seasoning dan condiments. Jadi rempah itu bisa dia sebagai spices, bisa sebagai herb, bisa sebagai season, bisa juga sebagai condiments. Tergantung nanti peruntukannya untuk apa,”katanya.
Dia juga melihat rempah di dalam produksi kualitas bahan baku tidak konsisten.
“Kita ketahui kalau kita di negara Indonesia ini kita sangat tergantung kepada musim. Sangat tergantung kepada musim. Musim panas, musim hujan. Jadi sangat tergantung kepada musim. Kemudian ketergantungan pada cuaca untuk panen dan pengeringan. Selanjutnya minimnya akses teknologi dan modal bagi petani rempah. Jadi itu tadi bahwa petani itu seyokyanya punya ilmu. Jadi jangan sampai turun-temurun ilmunya itu paling tidak dia punya ilmu,”katanya.
Kemudian tantangan dalam pengolahan yaitu masih menggunakan teknik pengolahan tradisional yang belum efisien.
“Jadi petani tradisional itu masih kalah dengan petani yang di luar. Yang di luar, yang di Eropa terutama ya. Yang teknologinya sudah maju, lalu kurangnya fasilitas modern, sulitnya menjaga kebersihan dan standar mutu.,”katanya.
Disamping tantangan pada sistem distribusi dan pemasaran. Rantai distribusi panjang dan biaya tinggi.
Kemudian produk lokal kalah bersaing dari produk import.
“ Ini tadi, produk lokal sebenarnya kita tidak kalah dengan produk-produk dari negara luar, tidak kalah. Kualitas kita bisa dibilang bagus dibanding dengan produk luar. Nah mungkin teknologi yang digunakan dan kemudian itu sangat berpengaruh nanti ke kualitas produknya. Kemudian ini peluang,”katanya.
Sedangkan Pj Rektor Universitas Tamansiswa Palembang Desfitrina SE,M.Si yang membuka seminar tersebut mengatakan, seminar ini tidak hanya menyentuh sektor pertanian, tetapi juga merangkum berbagai dimensi strategis mulai dari aspek hukum, ekonomi, dan politik hijau hingga inovasi teknologi, sejarah budaya, serta pendekatan teknis dalam budidaya dan pengolahan rempah.
“Semua ini membentuk satu kesatuan gagasan menuju jalur ekonomi hijau masa depan yang berkelanjutan,”katanya.
Menurutnya , rempah adalah identitas dan kekuatan bangsa, namun tantangannya kini bukan hanya pada hasil produksi, tapi juga strategi pemberdayaan dan kebijakan yang terarah.
“Di sinilah peran kita menjadi penting. Kihajar Dewantara mengajarkan bahwa pendidikan sejati adalah yang membimbing, memerdekakan, dan menumbuhkan daya cipta. Semangat inilah yang menjadi dasar seminar ini, bagaimana ilmu pengetahuan di bidang pertanian, hukum, ekonomi, politik, dan teknik dapat saling bersinergi untuk mendorong kemajuan bangsa secara berkelanjutan,”katanya.
Dirinya percaya seminar ini akan mempertemukan ilmu, ide, dan inspirasi dari berbagai arah dari sejarah masa lalu hingga strategi masa depan.#udi