Walhi Sumsel Sebut Pemegang Izin Berbasis Lahan HTI, Perkebunan dan Pertambangan Penyebab Utama Karhutla

73
Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, Yuliusman didampingi Kepala Divisi Kampanye Walhi Sumsel, Febrian Putra Sopah saat menggelar Brief Kegagapan Penanganan Karhutla, Jumat (13/10) di Kantor Walhi Sumsel.(BP/udi)

Palembang, BP- Walhi Sumatera Selatan (Sumsel)  menyebut Kebakaran hutan dan lahan di Sumsel  adalah peristiwa yang semestinya dapat diprediksi dan dimitigasi oleh pemerintah pusat dan daerah, khususnya oleh stakeholder kunci yaitu pemegang izin berbasis lahan.

Menurutnya  Data dari Dinas Kesehatan Kota Palembang bulan Agustus hingga September 2023, kasus ISPA mencapai 12.100 kasus dengan kondisi udara pada level sangat tidak baik.

“Kondisi ini diperkirakan akan terus terjadi peningkatan kasus dan dampak buruk lainnya yang berimbas pada kemandekan aktivitas masyarakat,” kata Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, Yuliusman didampingi Kepala Divisi Kampanye Walhi Sumsel, Febrian Putra Sopah saat menggelar Brief Kegagapan Penanganan Karhutla, Jumat (13/10) di Kantor Walhi Sumsel.

Baca Juga:  Dansatgas TMMD Ke 104 Kodim 0418 Palembang Optimis Jalan Penghubung Kampung Pulokerto dengan Sungai Rengas, Selesai Sesuai Jadwal

Selain itu menurutnya  Data dari Walhi Sumsel menunjukkan di bulan September 2023 tercatat ada 29.858 hotspot. Parahnya 55 % berada di lahan gambut.

Menurutnya, fakta menunjukkan bahwa pemegang izin yang berbasis lahan baik HTI, Perkebunan dan usaha pertambangan menjadi penyebab utama kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Sumsel.

Perhitungan secara matematis menunjukkan bahwa 8,3 juta ha luas Sumatera Selatan, dikuasai oleh Perusahaan HTI 1,4 juta ha, perusahaan perkebunan kelapa sawit 1, 2 juta ha, dan lebih dari 700 ribu ha dikuasai oleh usaha pertambangan.

Total 3,3 juta ha luas daratan Sumsel bentang alamnya telah dikupas dan dirusak oleh korporasi.

Baca Juga:  Kecelakaan di Jalan di Jalan Tol Palembang-Lampung,  DPRD Sumsel  Berencana Panggil Direksi PT Waskita

“Izin-izin Perusahaan itu terlibat dalam kebakaran hutan dan lahan yang terus berulang. Akibatnya saat memasuki fase musim kemarau, seperti El Nino 2023, bencana ekologis karhutla dan asap dipastikan terjadi di Sumatera Selatan,” katanya.

Menurutnya hutan dibabat, gambut dikeringkan dengan berbagai alasan, seperti kanalisasi untuk kepentingan Perusahaan HTI, kebun kelapa sawit dan pertambangan.

“Lalu yang terjadi adalah bencana akut yang berulang dan selalu mendapatkan prestasi bernama lumbung asap. Masyarakat Sumsel harus menderita paparan asap berupa Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA),”katanya.

Selain itu , soal tudingan paling kencang terhadap terjadinya karhutla adalah fenomena el nino, yaitu kondisi rendahnya curah hujan sehingga kemarau menjadi lebih panjang.

Baca Juga:  Kota Palembang Masih Andalkan Dari Hotel , Restoran dan Tempat Hiburan

“Ini memicu gelombang panas di berbagai tempat, kekeringan, sehingga segala sesuatu menjadi mudah terbakar. Tetapi tuduhan tidak sepenuhnya bisa dibenarkan, karena el nino adalah fenomena musim yang sangat dominan dipengaruhi oleh prilaku manusia,”katanya.

Selain itu , terjadinya el nino karena perubahan perlakuan manusia terhadap alam sehingga tatanan aturan keseimbangan tersebut diabaikan. Perubahan perlakuan ini terfokus pada bagaimana tata kelola lanskap, yang menyebabkan lanskap basah menjadi mudah kering, dan musim menjadi tidak teratur. Artinya, musim kemarau ataupun musim hujan sebenarnya adalah rutinitas alam.#udi

Komentar Anda
Loading...