Jejak Anggota DPRD Sumsel H. Peradjin Bin Sanibur: Tjokroaminoto-nya Parlementer Sumsel Tahun 1960

371
(Sumber poto: koleksi Keluarga H Peradjin)

Palembang, BP- Jejak narasi historis salah satu anggota parlemen Sumatera Selatan tahun 1960- an muncul dari bapak H. Agus H. Peradjin. Pak Haji Agus, ternyata anak kandung dari anggota DPRD Sumsel tahun 1960. H. Peradjin Bin Sanibur .

“Saya dengar DPRD Provinsi Sumatera Selatan yang dipimpin Bu Anita tahun ini menerbitkan buku Sejarah DPRD Sumatera Selatan: Tiga Masa Menjaga Pembangunan di Bumi Sriwijaya. Saya penasaran dengan buku itu. Apakah ada narasi tentang ayah saya. Anggota DPRD Sumsel tahun 1960. Saya buka, oh, ternyata tertulis nama Beliau”, buka Haji Agus dengan perasaan senang di awal pembicaraan pekan lalu.

Bayang Pak Agus langsung ke sosok penuh kearifan ayahnya H. Peradjin.

“Kakek saya sebenarnya tidak sekolahan. Beliau seorang dukun kampung yang terkenal di Pulau Kemiling, Marga Kisam Ilir, Onderafdeeling Muara Dua, sekarang Kab. OKUS. Menjelang kelahiran ayah. Dusun Pulau Kemiling mendapat kunjungan dari tokoh besar nasional, HOS Tjokroaminoto. Sosok Tjokro mengilhami kakek untuk menyekolahkan ayah ke sekolah agama”, Kenang H. Agus.

“Ayah saya H. Peradjin. Seperti cita-cita kakek. Benar-benar mengikuti jejak Tjokro. Pada tahun 1931, saat berumur 16 tahun. Ayahku, H. Peradjin. Masuk ke Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan duduk sebagai sekretaris Ranting Pulau Kemiling. Selanjutnya, di zaman Belanda tersebut. Beliau juga bekerja di Dinas Penerangan (Voorlichting Dients) Onderafdeeling Muara Dua. Nah, Beliau juga pindah ke kepungurusan PSII Muara Dua. Di Muara Dua Beliau sangat dekat dengan Wedana Pangkoe”, sambung H. Agus.

Pada tahun 1933 diadakan kongres PSII ke-XIX di Jakartadari tanggal 3-12 Maret 1933.

Beliau diutus sebagai perwakilan PSII Palembang bersama Wedana Pangkoe utusan dari Muara Dua. Setelah kongres tersebut Beliau diminta meneruskan pendidikan lanjutan PSII mendalami staatsrecht (hukum) dan ekonomi di Kantor PSII Bandung di Gang Al Ketiri. Pendidikan ini ditempuh selama 3 tahun dari 1933-1935.

Baca Juga:  Gagal di Asian Games, Triathlon Bidik Emas di SEA Games

Selama bersekolah, Beliau aktif dalam kepanduan. Pada saat sekolah di tanggal 17 Desember 1935, Beliau ditunjuk menjadi salah satu pembicara dalam peringatan 1 tahun wafatnya tokoh panutan HOS Tjokroaminoto.

H. Agus H. Peradjin menarasikan kembali gaya Tjokro ayahnya, H. Peradjin (BP/IST)

Beliau mengangkat makalah dengan judul Sejarah Politik dan Pemerintahan Sejak VOC di Hindia-Belanda. Peringatan ini dipusatkan digedung Himpunan Saudara Bandung, namun menjelang selesai dihentikan oleh polisi Hindia Belanda (PID). Beliau digiring ke kantor polisi untuk diminta keterangan dan gerak gerik Beliau diawasi oleh polisi selama tiga bulan.

Beliau juga pernah dikirim mengikuti jambore kepanduan PSII perwakilan Bandung di Yogyakarta. Beliau ditunjuk sebagai sekretaris PSII Cabang Bandung. Selesai pendidikan, di awal tahun 1936, Beliau kembali lagi ke Pulau Kemiling di Marga Kisam Ilir.

“Namun menurut cerita ayah saya, situasi politik menjelang tahun 1936, sangat ketat. Di mana-mana PSII diawasi dan dilarang berkumpul (vergader verbond). Baik di Keresidenan Palembang, Keresidenan Bengkulu dan Provincie Sumatera Barat. Namun ayah saya, H. Peradjin, tak peduli.

Beliau tetap menghimpunan rapat PSII di kebun merica H. Ismail anggota PSII. Akibatnya beliau ditangkap dan diadili pada tanggal 8 April 1936 di pengadilan (lerder rapat) Muara Dua Kisam yang dipimpin controleur R.H. Heys.

Beliau bersama anggota PSII lainnya yakni M. Saleh Ismail, Riamin, Mahir, Mesantap dan Cikman dijatuhi hukuman 3 bulan”, tutur H. Agus dalam getir seperti yang dirasakan ayahnya. Tahun 1937-1938 H. Peradjin naik jabatan menjadi sekretaris PSII Cabang Marga Kisam Ilir. Sehingga Beliau mulai dekat dengan Wedana Pangkoe yang saat itu juga menjabat sekretaris PSII Komisariat Onderafdeeling Muara Dua.

Baca Juga:  Anggota MPR: Kekerasan Pada Anak Sudah Lampu Merah  

Sejak tahun 1940 PSII dilebur dalam GAPI. Terlebih ketika zaman Jepang, larangan politik membuat Beliau sedikit tiarap dalam politik dengan mengadakan gerakan bawah tanah yang dipimpin Wedana Pangkoe di Muara Dua. Pasca proklamasi 1945, Beliau bersama-sama Wedana Pangkoe dkk, menyusun BPRI dan Komite Nasional Indonesia Daerah di Muara Dua.

“Ditahun 1946, ayah saya H. Peradjin diangkat sebagai PNS dengan penempatan di Jawatan Penerangan Kewedanaan Muara Dua. Satu tahun kemudian Beliau ditunjuk menjadi kepala Jawatan Penerangan tersebut. Sambil mendirikan kembali PSII di Muara Dua”, kenang H. Agus.

“Ketika terjadi Agresi Militer Belanda I bulan Juli 1947. Beliau menghimpun lasykar rakyat, hizbullah, dan TNI untuk berjuang di garis depan di Palembang selatan. Selama tahun 1948 Beliau diperbantukan menjadi wakil militer di Muara Dua”, ujar H. Agus sembari mengatakan, ayahnya tersebut pernah menjadi  Komandan Distrik Militer di OKU Selatan bertempat di Muara Dua.

 

Selanjutnya, pada bulan Mei 1949 Beliau diangkat menjadi Wakil Wedana Palembang Selatan dan Camat Perang yang berkedudukan di Banding Agung, Ranau. Setelah masa damai 1950-1955 Beliau menjabat sebagai asisten wedana Baturaja dan Wedana Baturaja 1955-1960.

Ketika keluar dekrit Presiden tahun 1959. DPRD Sumsel hasil pemilihan umum 1955, hanya menjabat selama dua tahun, 1958-1960. Sebagai gantinya, kemudian di Sumsel dibentuk DPRD Gotong Royong (DPRD-GR) tahun 1960-1966 yang anggotanya selain diambil dari wakil partai politik, juga dipilih dari perwakilan masyarakat lainnya.

PSII yang mendapat jatah 3 kursi, mengusulkan dan meminta H. Peradjin sebagai wakil di DPRDGR 1960-1966 mewakili daerah Palembang Selatan. Pada saat itu Beliau masih duduk dalam pemerintahan dengan jabatan Wedana Baturaja. Panggilan jiwa seperti Tjokro membawah Beliau duduk dalam parlemen yang saat itu sedang berada pada masa transisi. Dari Demokrasi Liberal ke Demokrasi Terpimpin.

Baca Juga:  Bangga Jadi Pembawa Baki

Berahlinya H. Peradjin dari birokrasi ke politik yang sempat ditinggalkan Beliau membuat mencoba menerapkan filosofi Tjokro. Filosofi trilogi setinggi-tingginya ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat membuat Beliau mampu menjembati berbagai faham politik yang berseberangan tajam di parlemen Sumsel tahun 1960-an.

Sehingga, sampai akhir ayatnya ditengah hiruk-pikuk politik 1965-an, Beliau dinyatakan bersih dari pengaruh komunis saat itu. “Siasat politik seperti inilah yang diajarkan oleh Beliau. Dulu ketika kami menempati rumah di Lorok Pakjo ini. Banyak sekali orang-orang dari Muara Dua yang tinggal di sini dan dididik Beliau. “Beliau mengajarkan filosofi Tjokro tersebut tidak saja kepada keluarga besar kami,” katanya.

Namun juga pada orang-orang dekatnya. Sehingga dari rumah ini juga muncul para politikus dan pejabat Sumsel lainnya”, tatap H. Agus nanar mengingat kebesaran Sang Ayah.

Pengalaman luas Beliau dalam parlemen Sumsel di akhir Orla, membuat beliau ditunjuk sebagai salah satu anggota Badan Pemerintah Harian (BPH) Provinsi Sumatera Selatan dalam mengawal roda pembangunan di Sumatera Selatan di masa awal Orba.

Tahun 1965-1967. Tahun 1968-1970 Beliau kembali dipercaya di bidang Eknomi dan Keuangan. Terus tahun 1970-1974 diminta dalam memperkuat fondasi BUMD Sumsel pertama Prodexim. “Beliau juga mengambil filosofi Tjokro lainnya. Jika mau menjadi orang besar.

“Maka menulislah seperti wartawan. Dan bicaralah seperti orator. Ajaran ini yang membuat saya memilih menjadi PNS Pemprov dibagian Humas:, “kata H. Agus sembari menyebut kalau ayahnya tersebut merupakan pensiunan  Departemen Dalam Negeri (Depdagri) Republik Indonesia (RI).

Inilah yang membuat H. Agus Peradjin sang anak juga dekat dengan kalangan pers. #udi

Komentar Anda
Loading...