Pers Sumatera Selatan, Pers Perjuangan 1925- 1950 (Bagian Tiga)
#Kisah Perlawanan Harian Obor
Rakjat Melawan Belanda
Oleh : Dudy Oskandar (Jurnalis, Peminat
Sejarah Sumatera Selatan)
HARIAN 0bor Rakjat” dan Fikiran Rakjat menghadapi suatu malapetaka besar, ketika pada tanggal 1 Januari 1947, pecah pertempuran 5 hari 5 malam antara rakyat melawan tentera Belanda.
Ketika pertempuran berakhir, sebagian dari kota Palembang menderita kerusakan-kerusakan dan kebakaran-kebakaran, akibat tembakan meriam dan mortir dari Belanda.
Kantor Djawatan Penerangan, kantor harian Obor Rakjat dan harian Fikiran Rakjat rusak berantakan, sebagai juga percetakan Negara (Percetakan K.A. Ebeling) ketika itu.
Dengan susah payah dapatlah disusun kembali sehingga pada pertengahan bulan Januari 1947 ,Obor Rakjat dapat diterbitkan kembali dengan pimpinan dan pertanggungan jawab seluruhnya dipegang oleh MJ. Sjamsuddin.
Sedangkan Harian ,,Fikiran Rakjat sendiri tidak dapat diterbitkan kembali berhubung kerugian besar yang dialaminya ketika terjadi pertempuran.
Sebagai diketahui, beberapa instansi telah dipindahkan keuluan diantaranya di Lahat yang menjadi ibu kota darurat Keresidenan.
Beberapa rekan dari kalangan pers ada yang turut kesana dan ditempat inipun mereka tidak diam. Dengan anjuran Nungtjik Ar dan dibawah pimpinan Kaswanda Sucandy/Chodewy Amir diterbitkan pula media Darah Rakjat.
Sesuai dengan namanya, isinyapun tidak kurang tajam dan dapat juga dengan perantaraan kurir illegal dimasukkan ke Palembang, sehingga Darah Rakjat inipun menjadi alat perjuangan yang menimbulkan amarah Belanda yang ada di Palembang.
Media ini juga berhubung teman-teman mereka dari KB Antara Cabang Sumatera Selatan.
Justru mereka inilah para pemuda yang dicari-cari oleh Belanda, maka Kantor Berita inipun terpaksa dipindahkan ke Lahat dengan mempergunakan alat yang ada dan meskipun banyak kesulitan, tapi umum di daerah pedalaman semuanya dapat mengikuti segala keadaan dan perkembangan baik didalam maupun diluar negeri.
Suasana pendudukan tentera Belanda atas seluruh kota Palembang ketika itu merupakan ancaman yang besar bagi pers Republik seperti 0bor Rakjat.
Justru , surat kabar ini telah mendapat cap dari Belanda sebagai surat kabar “extremist” dan pimpinan redaksinya sendiri dianggap mereka seorang pembenci Belanda (Belanda hater).
Dengan mendapat cap koran “extremist” yang dipimpin oleh seorang Belanda hater, 0bor Rakjat setiap saat menghadapi kesulitan akibat gangguan yang dilakukan oleh anggota MID dan IVG Belanda yang ketika itu dipimpin oleh Kapten De Boer” (KL) dan Letnan Katalani (Knil) yang dikenal jahat.
Ketika naskah perjanjian Linggar Jati ditanda tangani pada bulan Maret 1947, untuk pertama kali , Obor Rakjat menghubungi pihak Belanda dengan mengadakan wawancara khusus sekitar kerjasama atas dasar persetujuan Linggar Jati dengan kepala “Tijdelijke Bestuur Dienst” Belanda, Mr. Wijnmalen.
Tetapi setelah perjanjian ini beberapa bulan ditanda tangani ,Obor Rakjat pula dituduh Belanda ,merusak semangat kerjasama Indonesia-Belanda, dengan suatu tulisan yang mengatakan, bahwa Linggar Jati berarti Langgar Jadi.
Ketika terjadi peristiwa “dagorder Jenderal Spoor” yang terkenal pada Juni 1947 (yaitu perintah untuk melakukan penyerbuan keseluruh daerah Republik), suasana semakin memanas .
Walaupun Belanda membantah dengan keras adanya perintah harian tersebut yang telah dibocorkan oleh Pers Indonesia, tetapi memang kelihatan kesibukan Belanda mempersiapkan penyerbuan ini.
Disamping penggeledahan dimana-mana yang dilakukannya di kota Palembang, kantor harian Obor Rakjat yang terletak di Jalan Kepandean , pada tanggal 30 Juni 1947 sore digeledah dan banyak arsip’ yang dibawa oleh MID.
Juga serentak dengan itu, rumah MJ. Sjamsuddin mengalami penggeledahan yang sama dan alasan mereka menggeledah untuk mencari senjata. Juga beberapa surat yang sebenarnya tidak penting, tetapi karena dikira mereka penting sehingga diangkut .
Pada tanggal 19 Juli malam, suasana Palembang memanas yang ditimbulkan akibat buntunya perundingan Indonesia-Belanda mengenai “gendarmerrie “ bersama” atau komponen militer dengan yurisdiksi penegakan hukum sipil bersama mencapai klimaksnya dan pada tengah malam itu pihak militer Belanda merobek perjanjian Linggar Jati dan melakukan aksi “coup d’etat” didaerah-daerah Indonesia yang didudukinya termasuk Palembang.
Pada malam itu juga kantor harian Obor Rakjat diduduki Belanda dan MJ. Sjamsuddin ditangkap kemudian dimasukkan dalam kamp tawanan dibekas sekolah “Schake1” 15 Ilir , bersama para perwira ALRI dan pemimpin-pemimpin Republik yang berada didaerah kekuasaan mereka.
Sebulan kemudian MJ. Sjamsuddin dikeluarkan dari tawanan dengan ancaman tidak boleh menulis apapun dalam surat kabar untuk waktu yang tidak ditentukan.
Dibawah ancaman sejata mereka disuruh menandatangani sebuah naskah perjanjian. Tetapi itu belum cukup beberapa hari kemudian M.J Sjamsuddin “Dibeslitkan” atau diusir ‘dari daerah pendudukan Belanda bersama-sama pegawai Republik yang menolak berkerjasama dengan Belanda.
Setelah suasana agak reda dan setelah digelar ”ceasefire” atau gencatan senjata , akibat tekanan dari Dewan Keamanan PBB , atas usaha Idrus Nawawi yang tadinya menjadi anggota staf Redaksi Obor Rakjat” sehingga penerbitan 0bor Rakjat diteruskan.
Tetapi dengan mengganti nama Harian Obor Rakjat dengan nama lain. karena nama 0bor Rakjat dianggap momok oleh Belanda.
Obor Rakjat akhirnya ditukar namanya dengan Harian Umum ” untuk sementara waktu, hingga kemudian dirubah pula dengan nama menjadi Harian Suara Rakjat.#
Sumber:
- Republik Indonesia, Propinsi Sumatera Selatan, Kementrian Penerangan , Siliwangi-Jakarta, Agustus 1954