Pers Sumatera Selatan, Pers Perjuangan 1925- 1950 (Bagian Tiga)  

95

#Kisah Perlawanan Harian Obor

Rakjat Melawan Belanda

 

Oleh : Dudy Oskandar (Jurnalis, Peminat

Sejarah Sumatera Selatan) 

HARIAN  0bor Rakjat” dan  Fikiran Rakjat  menghadapi suatu malapetaka besar, ketika pada tanggal 1 Januari 1947, pecah  pertempuran 5 hari 5 malam antara rakyat melawan tentera Belanda.

Ketika pertempuran berakhir, sebagian  dari kota Palembang menderita kerusakan-kerusakan dan kebakaran-kebakaran, akibat tembakan meriam dan mortir dari Belanda.

Kantor Djawatan Penerangan, kantor harian  Obor Rakjat dan harian Fikiran Rakjat  rusak berantakan, sebagai juga percetakan Negara (Percetakan K.A. Ebeling) ketika itu.

Dengan susah payah dapatlah disusun kembali sehingga pada pertengahan bulan Januari 1947 ,Obor Rakjat dapat diterbitkan kembali dengan pimpinan dan pertanggungan jawab seluruhnya  dipegang oleh MJ. Sjamsuddin.

Sedangkan Harian ,,Fikiran Rakjat sendiri tidak dapat diterbitkan kembali berhubung kerugian  besar yang dialaminya  ketika terjadi pertempuran.

Sebagai diketahui, beberapa instansi telah dipindahkan keuluan diantaranya di Lahat yang menjadi ibu kota darurat Keresidenan.

Beberapa rekan dari kalangan pers ada yang turut kesana dan ditempat inipun mereka tidak diam. Dengan anjuran Nungtjik Ar dan dibawah pimpinan Kaswanda Sucandy/Chodewy Amir diterbitkan pula media Darah  Rakjat.

Sesuai dengan namanya, isinyapun tidak kurang tajam dan dapat juga dengan perantaraan kurir illegal dimasukkan ke Palembang, sehingga  Darah Rakjat  inipun menjadi alat perjuangan yang menimbulkan amarah Belanda yang ada di Palembang.

Baca Juga:  Mencari Jejak Sejarah Pers di Sumatera Selatan

Media ini juga berhubung teman-teman mereka dari KB  Antara  Cabang Sumatera Selatan.

Justru  mereka inilah para pemuda yang dicari-cari oleh Belanda, maka Kantor Berita inipun terpaksa dipindahkan ke Lahat dengan mempergunakan alat yang ada dan meskipun banyak kesulitan, tapi umum di daerah pedalaman semuanya dapat mengikuti segala keadaan dan perkembangan baik didalam maupun diluar negeri.

Suasana pendudukan tentera Belanda atas seluruh kota Palembang ketika itu merupakan ancaman yang besar bagi pers Republik seperti 0bor Rakjat.

Justru , surat kabar ini telah mendapat cap dari Belanda sebagai surat kabar  “extremist”  dan pimpinan redaksinya  sendiri dianggap mereka seorang pembenci Belanda (Belanda hater).

Dengan mendapat cap koran “extremist”  yang dipimpin oleh seorang  Belanda hater,  0bor Rakjat setiap saat menghadapi kesulitan akibat gangguan yang dilakukan oleh anggota MID dan IVG Belanda yang ketika itu dipimpin oleh Kapten De Boer” (KL) dan Letnan Katalani (Knil)  yang dikenal jahat.

Ketika naskah perjanjian Linggar Jati ditanda tangani pada bulan Maret 1947, untuk pertama kali , Obor Rakjat menghubungi pihak Belanda dengan mengadakan  wawancara khusus sekitar kerjasama atas dasar persetujuan Linggar Jati dengan kepala “Tijdelijke Bestuur Dienst” Belanda, Mr. Wijnmalen.

Baca Juga:  Gubernur Sumsel Kedepan Harus Tingkatkan Pembangunan

Tetapi setelah perjanjian ini beberapa bulan ditanda tangani ,Obor Rakjat  pula dituduh Belanda ,merusak  semangat kerjasama Indonesia-Belanda, dengan suatu tulisan  yang mengatakan, bahwa Linggar Jati  berarti  Langgar Jadi.

Ketika terjadi peristiwa  “dagorder Jenderal Spoor” yang terkenal pada Juni 1947 (yaitu perintah untuk melakukan penyerbuan keseluruh daerah Republik), suasana semakin memanas .

Walaupun Belanda membantah dengan keras adanya  perintah harian  tersebut yang telah dibocorkan oleh Pers Indonesia, tetapi memang kelihatan kesibukan Belanda mempersiapkan penyerbuan  ini.

Disamping penggeledahan dimana-mana  yang dilakukannya di kota Palembang, kantor harian Obor Rakjat  yang terletak di Jalan Kepandean , pada tanggal 30 Juni 1947 sore digeledah dan banyak arsip’ yang dibawa oleh MID.

Juga serentak dengan itu, rumah  MJ. Sjamsuddin mengalami penggeledahan yang sama dan alasan mereka menggeledah untuk mencari senjata. Juga beberapa surat yang sebenarnya  tidak penting, tetapi karena dikira mereka penting sehingga diangkut .

Pada tanggal 19 Juli malam,  suasana Palembang memanas yang ditimbulkan akibat buntunya perundingan Indonesia-Belanda mengenai “gendarmerrie “ bersama” atau komponen militer dengan yurisdiksi penegakan hukum sipil bersama  mencapai  klimaksnya dan pada tengah malam itu pihak militer Belanda merobek  perjanjian Linggar Jati dan melakukan aksi “coup d’etat” didaerah-daerah Indonesia  yang didudukinya termasuk Palembang.

Baca Juga:  Dewan Pers : Pemda dan Humas Provinsi dan Kabupaten/Kota, Apakah Tidak Malu Berkerjasama Dengan Media Abal-Abal

Pada malam itu juga  kantor harian  Obor Rakjat  diduduki Belanda dan  MJ. Sjamsuddin ditangkap kemudian dimasukkan dalam kamp tawanan dibekas sekolah “Schake1”  15 Ilir , bersama  para perwira ALRI dan pemimpin-pemimpin  Republik yang berada didaerah kekuasaan mereka.

Sebulan kemudian  MJ. Sjamsuddin dikeluarkan dari tawanan dengan ancaman tidak  boleh menulis apapun dalam surat  kabar untuk waktu yang tidak ditentukan.

Dibawah ancaman sejata mereka disuruh menandatangani sebuah naskah perjanjian. Tetapi itu belum cukup  beberapa hari kemudian M.J  Sjamsuddin  “Dibeslitkan” atau diusir ‘dari daerah pendudukan Belanda bersama-sama pegawai Republik yang menolak berkerjasama dengan Belanda.

Setelah suasana agak reda dan setelah digelar ”ceasefire” atau gencatan senjata , akibat tekanan dari Dewan Keamanan PBB , atas usaha Idrus Nawawi yang tadinya menjadi  anggota staf Redaksi Obor Rakjat” sehingga penerbitan  0bor Rakjat diteruskan.

Tetapi dengan mengganti nama Harian Obor Rakjat dengan nama lain. karena nama  0bor Rakjat  dianggap momok oleh Belanda.

Obor Rakjat  akhirnya ditukar namanya dengan  Harian Umum ” untuk sementara waktu, hingga kemudian dirubah pula dengan nama  menjadi  Harian Suara Rakjat.#

Sumber:

  1. Republik Indonesia, Propinsi Sumatera Selatan, Kementrian Penerangan , Siliwangi-Jakarta, Agustus 1954
Komentar Anda
Loading...