Pantai Timur Sumatera, Kejayaan Sriwijaya dan Hankamnas
Oleh Kol Inf Kunto Arief Wibowo
(Danrem 044 Garuda Dempo/Dansatgas Karhutla Sumsel)
SELAMA ratusan tahun Kerajaan Sriwijaya sukses mengoptimalkan wilayah pantai timur Sumatera, yang membentang dari Lampung hingga ke Sumatera Utara, sebagai wilayah pertahanan dan keamanan yang mampu mensejahterakan rakyatnya, meluaskan pengaruhnya, serta sebagai pintu gerbang ilmu pengetahuan dan ajaran agama. Sriwijaya kemudian menjadi pusat peradaban Nusantara atau Asia Tenggara.
Menjaga merupakan kunci utama yang dilakukan Kerajaan Sriwijaya. Penjagaan ini jelas bukan sebatas memberikan aturan hukum, juga memberikan jaminan kehidupan yang aman, sejahtera, bagi masyarakat yang menetap di wilayah pantai timur, baik secara sosial, budaya, dan kondisi bentang alamnya.
Upaya penjagaan yang dilakukan tampak dari bukti tertulis berupa tulisan di prasasti. Pertama, memberikan aturan hukum seperti yang terbaca dalam Prasasti Kota Kapur di Bangka. Isinya, “…Bilamana di pedalaman semua daerah yang berada di bawah Kadātuan ini akan ada orang yang memberontak yang bersekongkol dengan para pemberontak, yang berbicara dengan pemberontak, yang mendengarkan kata pemberontak;yang mengenal pemberontak, yang tidak berperilaku hormat, yang tidak takluk, yang tidak setia pada saya dan pada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu; biar orang-orang yang menjadi pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk biar sebuah ekspedisi untuk melawannya seketika di bawah pimpinan datu atau beberapa datu Śrīwijaya, dan biar merekadihukum bersama marga dan keluarganya.”
Kedua, menjadikan wilayah pantai timur sebagai bandar yang dikelola masyarakat Sriwijaya, seperti terbaca dari berbagai penelitian arkeologi yang dilakukan Balai Arkeologi Sumatera Selatan terkait berbagai penemuan situs pemukiman dari abad ke-4 (pra Sriwijaya) hingga enam abad kejayaan Kerajaan Sriwijaya.
Dari berbagai penemuan artefak, kehidupan masyarakat Sriwijaya di pantai timur sangatlah sejahtera dan modern di masanya. Mereka mengenal teknologi baik terkait transportasi, kuliner, kesehatan hingga gaya hidup. Kehidupan berlangsung sangat harmonis dan tentu saja aman dari ancaman pihak luar.
Ketiga, bersikap dan berpikir terbuka dalam menghadapi pihak asing. Artinya jika ilmu pengetahuan dan berbagai produk yang menguntungkan atau tidak merugikan pemerintah dan masyarakat Sriwijaya, hal tersebut diterima, jika sebaliknya jelas ditolak, termasuk dengan cara melakukan peperangan hingga ke pusat kekuatan pihak asing. Sikap ini ternyata jauh lebih mampu menghindari upaya penjajahan, jauh lebih hebat dari Kekaisaran Tiongkok yang jebol oleh kolonial Inggris dengan “politik candunya”.
Keempat, mampu menjalankan hukum secara baik di dalam struktur pemerintahan dan pelaku ekonominya, sehingga tidak ada upaya pengkhianatan atau bersekutu dengan musuh yang dilakukan para pejabat pemerintahan dan pelaku ekonomi. Hal ini terbaca dalam Prasasti Telaga Batu yang ditemukan di Palembang timur.
Berikut isinya, “Om! Semoga berhasil. Kamu semua berapapun banyaknya, putra raja, bupati, panglima, tokoh lokal terkemuka, bangsawan, bawahan raja, hakim, pemimpin para buruh, pengawas pekerja rendah, ahli senjata, kumaramatya, tentara, pejabat pengelola, karyawan toko, pengrajin, nakhoda, pedagang, pelayan raja dan budak raja. Kamu semua akan mati karena kutukan ini, jika kamu tak setia padaku, jika kamu berlaku sebagai penghianat, berkomplot dengan orang-orang dalam kejahatan.
Kelima, keseimbangan manusia dengan alam semesta, merupakan landasan utama Kerajaan Sriwijaya dalam menjalankan pemerintahannya, termasuk menata wilayah kekuasaannya, seperti pantai timur Sumatera. Intinya manusia dengan makhluk hidup lainnya, mempunyai hak yang sama untuk menetap, mencari makan dan minum, serta hidup nyaman pada sebuah bentang alam yang terjaga. Seperti ada pesan dari pemimpin Sriwijaya, jika manusia tidak boleh rakus dalam memanfaatkan alam, sebab akan membuat makhluk hidup lainnya tersingkirkan atau musnah.
Pesan ini terbaca dalam Prasasti Talang Tuwo yang ditemukan di Palembang barat. Berikut isi prasasti tersebut, “Pada tanggal 23 Maret 684 Masehi, pada saat itulah taman ini yang dinamakan Śrīksetra dibuat di bawah pimpinan Sri Baginda Śrī Jayanāśa. Inilah niat baginda: Semoga yang ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu, dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula bambu haur, waluh, dan pattum, dan sebagainya; dan semoga juga tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua makhluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan. Jika mereka lapar waktu beristirahat atau dalam perjalanan, semoga mereka menemukan makanan serta air minum. Semoga semua kebun yang mereka buka menjadi berlebih (panennya). Semoga suburlah ternak bermacam jenis yang mereka pelihara, dan juga budak-budak milik mereka. Semoga mereka tidak terkena malapetaka, tidak tersiksa karena tidak bisa tidur. Apa pun yang mereka perbuat, semoga semua planet dan bintang menguntungkan mereka, dan semoga mereka terhindar dari penyakit dan ketuaan selama menjalankan usaha mereka. Dan juga semoga semua hamba mereka setia pada mereka dan berbakti, lagipula semoga teman-teman mereka tidak mengkhianati mereka dan semoga istri mereka menjadi istri yang setia. Lebih-lebih lagi, di mana pun mereka berada, semoga di tempat itu tidak ada pencuri, atau orang yang mempergunakan kekerasan, atau pembunuh, atau penzinah. Selain itu, semoga mereka mempunyai seorang kawan sebagai penasihat baik; semoga dalam diri mereka lahir pikiran Boddhi dan persahabatan (…) dari Tiga Ratna, dan semoga mereka tidak terpisah dari Tiga Ratna itu. Dan juga semoga senantiasa (mereka bersikap) murah hati, taat pada peraturan, dan sabar; semoga dalam diri mereka terbit tenaga, kerajinan, pengetahuan akan semua kesenian berbagai jenis; semoga semangat mereka terpusatkan, mereka memiliki pengetahuan, ingatan, kecerdasan. Lagi pula semoga mereka teguh pendapatnya, bertubuh intan seperti para mahāsattwa berkekuatan tiada bertara, berjaya, dan juga ingat akan kehidupan-kehidupan mereka sebelumnya, berindra lengkap, berbentuk penuh, berbahagia, bersenyum, tenang, bersuara yang menyenangkan, suara Brahmā. Semoga mereka dilahirkan sebagai laki-laki, dan keberadaannya berkat mereka sendiri; semoga mereka menjadi wadah Batu Ajaib, mempunyai kekuasaan atas kelahiran-kelahiran, kekuasaan atas karma, kekuasaan atas noda, dan semoga akhirnya mereka mendapatkan Penerangan sempurna lagi agung.
Bagaimana sekarang? Jika kita ingin mengembalikan kejayaan yang pernah diraih Kerajaan Sriwijaya, seperti ingin mengembalikan Nusantara (Indonesia) sebagai pusat maritim dunia, yang mana pantai timur Sumatera sebagai salah satu penyanggahnya, alangkah baiknya strategi penjagaan atau pertahanan yang dijalankan Kerajaan Sriwijaya seperti terbaca di atas dapat diterapkan atau dijalankan pemerintahan Indonesia saat ini.
Persoalannya sekarang, wilayah pantai timur ini juga yang banyak mengalami problema. Kerusakan lingkungan, perluasan perkebunan swasta, ekspansi masyarakat, kebakaran hutan dan lahan, illegal loging, menjadi momok yang menyebabkan wilayah strategis ini jadi terbengkalai dan bahkan sebagian pihak menganggapnya sumber bencana.
Peristiwa kebakaran hutan tahun 2015 banyak bersumber dari wilayah ini. Tak dipungkiri memang karena daerah ini dominan rawa-rawa, bahkan sebagian besar bergambut dalam. Apa yang mesti dilakukan? Revitalisasi dengan mengedepankan karakteristik wilayah adalah paling utama. Selamatkanlah mana yang masih bisa diselamatkan. Hargailah daerah ini sebagai daerah strategis dan bersejarah, sehingga ketika beberapa waktu lalu banyak terjadi penjarahan sisa-sisa kerajaan masa lampau, tidak terulang lagi.
Badan Restorasi Gambut dan Tim Restorasi Gambut Daerah sudah mencoba masuk ke daerah ini. Kita dukung itu dan TNI sendiri sangat berkepentingan terhadap bentangan alam di sini. Dari sisi pertahanan, daerah ini akan menjadi pintu masuk musuh yang perlu disadari bersama. Belajar dari Sriwijaya, areal inilah yang menjadi basis pertahanan utama kala itu.
Oleh karena itu, jika daerah ini menjadi seolah tak bertuan, tentu sishankam secara keseluruhan yang menjadi ancaman. Taruhan Indonesia ada di daerah ini, karena itu harus dijaga bersama. Perlu ada pembatasan pembukaan areal pertanian, perlu pula memperkuat masyarakat yang bermukim disitu. Masyarakat yang kuat, lingkungan yang terjaga adalah basis dasar pertahanan rakyat semesta.
Terima kasih, semoga terbuka dan tergerak untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.*