MPR Dukung Pembangunan Melalui GBHN

7
Bambang Sadono

Jakarta, BP

Ketua Badan Pengkajian MPR RI Bambang Sadono mengatakan, semua  Fraksi di MPR  dan kelompok DPD RI  mendukung reformulasi sistem perencanaan pembangunan dikembalikan ke sistem ketatanegaraan Indonesia atau GBHN. Tapi, tidak sepakat memiliki sanksi hukum.
“Ada juga  menolak dalam bentuk GBHN, tapi setuju dalam bentuk UU, dan ada usulan amandemen terbatas terkait GBHN, serta sesuai dengan pasal 37 UUD 1945 yang mensyaratkan pasal  yang akan dirubah serta  alasan konkret. Sedangkan yang belum dibahas adalah tentang siapa dan apa isi perubahan tersebut,” ujar Bambang di ruangan wartawan, DPR RI, Jakarta, Senin (27/2).
Menurut Bambang,  Pasal 37 UUD 1945 menyebutkan setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah.
Dia menambahkan, PDIP, PAN, PKB, NasDem mendukung dalam bentuk GBHN. Sedangkan Fraksi  Demokrat setuju ada sanksi hukum tapi dalam bentuk UU seperti UU No.25/2004 dan UU No.17/2007 tentang perencanaan pembangunan jangka panjang.
Sementara itu kata Bambang,  Golkar meminta untuk mempertimbangkan dalam bentuk UU bagaimana efektifitasnya sebuah UU.  Karena, MPR RI bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara. Gerindra setuju revisi UU No.25/2004 dan UU No.17/2007 untuk menegaskan kembali kewajiban dalam perencanaan pembangunan  sebagaimana TAP MPR RI sebagai produk hukum. Sehingga dibutuhkan TAP MPR RI  dan amandemen  dilakukan secara komprehensif.
“PKS berharap perubahan itu jangan sampai  digugat, sehingga  proses amandemen harus melibatkan  Mahkamah Konstitusi (MK) dan  Komisi Yudisial (KY). PPP masih mempertimbangkan dalam bentuk  GBHN dan Hanura menyebutkan  perlu dukungan politik,” tutur Bambang.
Pakar Hukum Tata Negara Satya Arinanto menyatakan,   amandemen tersebut membutuhkan dukungan politik yang konkret. Sebagaimana DPD RI mendapat dukungan politik sampai 1/3 fraksi MPR RI untuk penguatan kewenangan. “Jika  merujuk pada rumusan Pasal 37 UUD 1945 sepertinya lebih sulit,” kata Satya.
Satya  menyarankan agar DPD RI menuntaskan masalah di internal dulu. Misalnya soal masa jabatan pimpinan DPD RI, apakah 2,5 tahun atau 5 tahun. Masalah jabatan pimpinan DPD RI mesti diselesaikan dulu, baru mencari dukungan politik. #duk
Baca Juga:  Dinilai Responsif, Polri Dapat Penghargaan dari Kemenkumham
Komentar Anda
Loading...