Dodi Reza Alex: Hilirisasi Industri Libatkan Semua Pihak
Palembang, BP
Anggota Komisi III DPR RI Dodi Reza Alex menilai, lambatnya hilirisasi industri di Indonesia, termasuk Sumsel, dikarenakan banyaknya kendala di lapangan.
“Ini juga tergantung dari kebijakan dan pendanaan fiskal dari pemerintah. Apalagi APBN dari Kementerian Perindustrian hanya berkisar 5-6 triliun per tahun,” kata Dodi Reza ketika menjadi pembicara dalam seminar ‘Strategi Akselerasi Hilirisasi Industri Berbasis Bahan Baku Unggulan Perkebunan (Agro) di Sumsel’ yang diselenggarakan Magister Manajemen Universitas Tridinanti (UTP) di ballroom Hotel Novotel Palembang, Sabtu (7/3).
Menurut Dodi, pendanaan fiskal tidak akan cukup untuk membangun industri hilir. Jadi penguatan industri hilir harus melibatkan seluruh pihak, baik itu investor dari luar, masyarakat sekitar industri, selain dari pemerintah. Semua ini harus didukung dengan peraturan dan regulasi, sarana dan prasarana, serta modal yang cukup.
Walaupun demikian semuanya harus optimis karena potensi Sumsel untuk memajukan industri hilir lebih besar. Sumsel sudah memiliki strategi yang bagus serta program di mana pemerintah siap mendukungnya.
Peluang hilirisasi industri di Sumsel sangat luar biasa. Karena perkebunan di Sumsel saat ini, seperti kelapa sawit dan karet, terus berkembang. Bahkan, produksi karet Sumsel sejak 2010 mampu menggeser produksi karet Sumatera Utara.
“Sebagai penghasil karet terbesar kedua di dunia, Sumsel mengeskpor sebagian besar karet produksinya. Jika hilirisasi sudah terealisasi, luar biasa nilai tambah yang diperoleh,” kata Dodi.
Salah satu kebutuhan industri adalah ketersediaan bahan baku yang berkualitas, dan dalam jumlah yang besar. “Karena itu hilirisasi ini harus di dorong, mengingat potensi Sumsel yang begitu besar,” katanya.
Berbagai macam cara yang terintegrasi untuk memaksimalkan percepatan hilirisasi sektor perkebunan, apakah itu karet maupun sawit, harus dilakukan. Investor selalu membutuhkan jaminan, termasuk tempat yang menunjang, iklim investasi yang baik.
“Kita juga melihat bahwa sudah banyak investor yang telah tertarik di industri hilir, namun kita terbentur. Kita punya bahan baku yang melimpah, tetapi apakah kita punya energi yang baik, apakah kita punya sarana dan prasarana, infrastruktur yang tersedia baik. Salah satu untuk mempercepat industri hilir berkembang adalah mempersiapkan kawasan ekonomi khusus yang sekarang tinggal menunggu tanda tangan presiden,” katanya.
Rektor Universitas Sri wijaya (Unsri) Prof Dr Badia Prizade, yang juga menjadi pembicara mengatakan, Indonesia selama ini menjadi pengekspor terbesar minyak sayur curah (crude palm oil – CPO) di dunia. Jika CPO tersebut diolah menjadi barang jadi, kemudian diekspor, maka harga yang diterima pun menjadi lebih besar.
“Selama ini yang jadi permasalahan adalah modal. Tetapi saat ini modal tidak lagi jadi masalah, yang terpenting infrastruktur, kesiapan SDM, dan juga aturan-aturan yang diberlakukan pemerintah,” katanya.
Sementara itu, Direktur Pascasarjana Program Studi Magister Manajemen Universitas Tridinanti Palembang Prof Sulbahri Madjir mengatakan, hilirisasi industri berbasis bahan baku perkebunan (agro) di Sumsel perlu percepatan, untuk memberikan nilai tambah pada hasil bumi Sumsel. Seperti saat ini, petani karet tengah menghadapi merosotnya harga karet yang mengakibatkan turunnya daya beli. Hal itu terjadi karena karet yang dihasilkan langsung dijual ke luar negeri.
“Hilirisasi banyak manfaat, kita tidak perlu banyak mengimpor. Kalau bahan unggulan diproduksi di dalam negeri, nilai tambahnya dinikmati, tenaga kerja juga banyak terserap, pemerintah juga memperoleh retribusi pajak, dan multiplier effect yang baik. Saat ini, kita masih tergantung dengan pasar luar negeri,” katanya. #osk