Palembang, BP- Sengketa lahan eks konsesi PT. Pertamina RU III Plaju Sungai Gerong, Banyuasin (Sumatera Selatan) antara Warga masyarakat Desa Sungai Rebo, Sungai Gerong dan Kelurahan Mariana Kecamatan Banyuasin I, Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumsel dengan PT Pertamina (Persero) RU III terus berlanjut.
Badan Akuntabilitas Publik (BAP) DPD RI akhirnya menggelar rapat mediasi antara warga bersama unsur Kementerian ATR/BPN, PT Pertamina dan pemerintahan setempat di kantor DPD Perwakilan Sumsel di Kawasan Jakabaring Banyuasin, Kamis (18/1) siang.
” Untuk tuntutan masyarakat terkait lahan 260 Ha yang merupakan lahan konsesi ini agar diserahkan ke masyarakat dan dapat diterbitkan sertifikat mengalami deadllock dan tidak ada kesepakatan. Namun untuk lahan 54,4 Ha lahan yang selama ini ada dan dibangun tempat tinggal tetap dapat diterbitkan sertifikat. sehingga untuk sisa lahan seluas 210 ha, masih akan dibahas di tingkat pusat dengan melibatkan unsur dari Kementerian ATR/BPN, Pertamina dan juga Pemkab Banyuasin dan perwakilan warga di kantor DPD RI,” kata Ketua Rombongan BAP DPD RI, Muhammad Nuh dan senator asal Sumsel, Arniza Nilawati, Kamis (18/1).
Di samping itu, berkenaan dengan hal tadi, tentu menjadi perhatian serius dari DPD RI terutama sekali perwakilan DPD RI berasal dari Sumsel. Oleh karena itu, apa yang jadi usulan dan permintaan masyarakat di tiga kawasan tersebut akan dapat perhatian serius. Namun demikian, tentunya semua ini merujuk pada aturan yang ada berkaitan persoalan pertanahan.
” Yang disepakati itu, lahan yang ditempati dan dibangunkan rumah ataupun tempat tinggal seluas 54,4 Ha. Namun warga tadi minta agar semua lahan seluas 260 ha ini diberikan pengelolaannya untuk warga dari tiga desa tadi. Akan tetapi permintaan dari warga tadi tidak disetujui PT Pertamina . Di sini menjadi deadlock. Namun demikian, ini akan dibahas ditingkat pusat. Diharapkan hal ini bisa mendapatkan jawaban terkait keinginan dan harapan masyarakat tadi,” kata Arniza Nilawati.
Kendati demikian, menurut Arniza , dari total 570 Ha yang pada awalnya menjadi keinginan warga tadi, namun dari hasil perhitungan dari ATR/BPN dan perwakilan Pemkab Banyuasin didapat angka 260 hektar.Data ini menurutnya yang lantas menjadi dasar keinginan warga tadi.
Di sisi lain, pengakuan warga lahan tersebut sejak puluhan tahun dimanfaatkan untuk tempat tinggal dan berusaha dan sekaligus sebagai mata pencaharian warga.
” Belum ada titik temu untuk keseluruhan lahan tadi, kalau yang disepakati baru sebatas lahan tempat tinggal. Untuk usaha dan perkebunan, dari kedua belah pihak belum sepakat tersebut,” kata Arniza.
Sedangkan Ketua Advokasi Masyarakat Banyuasin I Bergerak, Syamsul Elmi SE Ak didampingi Sekretaris Rasum Effendi, mengatakan , hasil rapat tadi memutuskan apa yang sudah menjadi hasil inventarisasi itu diajukan Kementrian ATB/BPN 54,4 hektar dimana diawal semula inventarisasi saat ekspose hanya 34,79 hektar lalu di validasi lantaran ada kekeliruan menjadi 54,4 hektar dari 573 hektar .
“Itu dimohonkan agar 54,4 hektar itu agar diberikan haknya apakah hak milik atau hak apa belum tahu, kita tetap tanah itu menjadi hak milik dengan 1276 bidang dimiliki hampir 1276 KK ,” katanya.
Namun pihaknya berkeberatan pengukuran tersebut didasarkan kepada tapak rumah /bangunan sementara lahan kebun dan pertanian warga belum termasuk di situ makanya pihaknya mengajukan keberatan dimana yang surat-surat sudah dilayangkan ke Kementrian termasuk ke DPD sampai akhirnya diadakan rapat hari ini.
“Kami menurut data isian dari warga dan isian inventarisir itu lebih kurang ada 260 hektar bukan hanya 54,4 hektar, jadi 260 hektar tadi sudah termasuk yang termasuk yang 54,4 hektar tadi, tapi yang 260 hektar tidak termasukluasan infastruktur jalan , jembatan, sungai, parit ,” katanya sembari mengatakan, kalau pihak Pertamina sudah mengeluarkan himbauan agar warga tidak boleh mendirikan bangunan baru diluar petak bangunan yang sudah di inventarisir.
Pihaknya berharap masyarakat yang telah menempati lahan tersebut selama puluhan tahun memiliki kepastian hukum kepemilikan hak atas lahan tersebut dalam bentuk sertifikat hak milik .
Sebelumnya menurut Syamsuk, permasalahan lahan ini berawal tahun1951 silam. Yang mana pada saat itu, Gubernur Sumsel memberikan hak Efepachr ke NV Standard Vacuum Petroleum Maatschappij (SPVM) atas penguasaan lahan di wilayah Marga Sungai Rengas seluas 8.000.000 M2 tersebut yang kini sudah berubah namanya menjadi Desa Sungai Gerong dan Kelurahan Mariana Kecamatan Banyuasin I, Banyuasin tersebut.
” Awalnya SPVM meminjam lahan ke Marga Sungai Rengas untuk membangun radio komunikasi di Mariana. Ketika itu ada dua radio yang dibangun dengan luasan wilayah masing-masing radio yakni 5 Ha. Pada saat pinjam pakai, ada dokumennya dan pernah dilihat anak Pesirah setempat. Tetapi surat yang dipegang anak Pesirah tadi ternyata telah hilang,” bebernya.
Sejak itu, Pesirah Sungai Rengas dan SPVM meminjam lahan tersebut, namun warga ini dibangunkan jalan. Bahkan ketika itu turut dipasangkan listrik dan telepon serta lampu penerangan jalan. Lalu tahun 1953, , ketika itu sudah ada masyarakat yang masuk dan berkebun serta bangun rumah. Akan tetapi, seiring waktu, menjadi pusat ekonomi pada wilayah Mariana dan sekitarnya. Yang mana selain dekat dengan Sungai Musi, di sekitar juga dibangun Kompleks Kampung Bali. Di sisi lain, warga juga merambah hutan yang ada di dekat kawasan tadi yakni di RT 3 dan RT 4 si Sungai Gerong tersebut.
Barulah pada tahun 1970, terjadi pengalihan hak dari NV SPVM ke PT Stanvac Indonesia tersebut. Sejak itu, status hak pinjam tanah di Mariana tersebut hilang. Seakan-akan ini menjadi hak Pertamina. Di samping semua itu, terbitnya Sertifikat HGB tahun 1960 oleh Pertamina mencakup tanah yang dipinjam dari Pesirah, bukan hanya pakai saja, akan tetapi mencaplok seluruh kawasan tersebut dan menjadikannya kawasan Pertamina. ” Sertifikat ini berlaku 20 tahun. Yakni tahun 1960-1980,” jelasnya.
Adapun informasi yang didapatnya, luasan tanah HGB Pertamina itu ada dua sertifikat, akan tetapi warga belum melihat sertifikat yang satunya. Bahkan dari pihak ATR/BPN Banyuasin, bahwa di lahan tersebut ada dua sertifikat. Satu sudah diperpanjang hingga tahun 2017 dan satunya lagi baru hendak diperpanjang tahun 2021. Namun si tahun 2022, seiring terpilihnya kades bagi yang juga mengerti hukum, tidak mau memberi tandatangan.
” Sehingga kami menganggap kalau sudah berakhir tahun 1980 lalu, sehingga secara hukum ini harusnya menjadi hak negara. Dari situ terbentuklah advokasi tadi hingga saat ini. Hingga saat ini total masyarakat yang tergabung mencapai ribuan orang dan tahun 2023, kades kembali menolak untuk menandatangani surat tersebut,” terangnya.
Lalu di tahun 2023 inilah, kades, lurah serta camat diundang ke Pertamina Jakarta dan diminta untuk menandatangani surat yang menyebutkan lahan tersebut milik dari PT Pertamina. Akan tetapi, kades dan lurah di saat itu menolak sebelum ada persetujuan warga. ” Bahkan Februari 2023 juga Kepala Kantor ATR/BPN Banyuasin memediasi dari Pertamina dan Pemuka masyarakat, tetapi di saat itu tetap ditolak warga,” tegasnya.
Sejak itu, kata Syamsul, pihaknya menyurati Kepala BPN Banyuasin, Kanwil BPN Sumsel dan Kementrian ATR/BPN. Inti auratnya itu menjelaskan Pertamina tidak manfaatkan lahan ini sejak diperoleh konsesi tdiak pula memanfaatkan lahan yang ditempati warga tersebut. Bahkan sejak tahun 1953, warga yang memanfaatkan lahan untuk tempat tinggal, beranak Pinak dan berusaha. “Dari sinilah kami tergugah untuk menuntut hak kami atas lahan yang sudah ditelantarkan ini sejak puluhan tahun lalu. Kami juga telah berkomunikasi dengan Bupati Banyuasin dan intinya mendukung warga,” bebernya.
Sementara itu pihak Pertamina yang hadir dalam pertemuan tersebut juga enggan memberikan komentar dan berlalu dari wartawan dan menaiki mobil yang telah disiapkan sebelumnya. ” Nanti ya, semua ini masih belum selesai,” ungkap salahsatu petinggi PT Pertamina tersebut dan lantas masuk ke mobil tersebut.#udi