SU 1 Maret 1949 Tidak Mengkultusindividukan Tokoh

269

Palembang, BP- Paguyuban Sejarawan Ngayogyakarta (PSN), Sabtu (19/2)  diundang oleh YKCB (Yayasan Kajian Citra Bangsa) di Jakarta, untuk berdiskusi mengenai Serangan Umum 1 Maret 1949 sebagai Hari Tegaknya Kedaulatan Negara. Dalam diskusi yang berada di SMP-SMA Labschool Cirendeu UNJ itu dimulai jam 09.00 sampai 12.00 WIB. Pembicara yang diundang adalah Chaterina Ety,  Lilik Suharmaji, Noor Johan Nuh, dan Bakarudin. Turut hadir pengurus PSN dari Yogyakarta diantaranya Mei Ujianti,  Pradana, dan Marmayadi.

Sebagai pemberi sambutan hadir ketua badan pembina YKCB Drs. Soehardjo Soebardi dan ketua Yayasan Edukarsa Prof. Dr. Arissetyanto Nugroho, MM. Dalam sambutannya Soehardjo Soebardi mengatakan bahwa perlunya persatuan dan kesatuan dari elemen bangsa agar bangsa yang tercinta ini tetap berdiri kokoh sebagai mana cita-cita pendiri bangsa terdahulu. Sementara itu Arissetyanto Nugroho berharap dengan adanya diskusi ini dapat merumuskan kesimpulan sebagai bekal gerak dan langkah agar peristiwa SU Maret 1949 dijadikan sebagai momentum membangun bangsa yang lebih besar.

Tampil sebagai pembicara pertama Bakarudin mengungkapkan bahwa, Yayasan  Kajian Citra Bangsa sangat mendukung  pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta mengajukan Serangan Umum 1 Maret 1949 sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Jauh sebelum ada usulan dari pemerintah DIY itu, pihak YKCB sudah berpikiran untuk menjadikan hari serangan itu sebagai hari nasional, tandasnya.

Baca Juga:  KPU Dan Bawaslu Sumsel Resmi Ajukan Anggaran Untuk Pilkada Sumsel

Sementara itu  Noor Johan Nuh mengatakan Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah kerja keras TNI dan rakyat sehingga bangsa ini tidak boleh mengenyampingkan tokoh-tokoh nasional seperti Sultan Hamengku Buwono IX dan Letkol Soeharto. Noor Johan Nuh menambahkan kedua tokoh itu harus kita hargai perannya. Mereka saling bahu-membahu dan saling melengkapi satu sama lain dalam serangan umum 1 Maret 1949.

Lilik Suharmaji yang didapuk sebagai pembicara berikutnya, menyampaikan bahwa peranan Sultan Hamengku Buwono IX dan Letkol Soeharto sangat krusial dalam serangan tersebut.  Lilik menceriterakan, sebelum terjadinya peristiwa Jogja kembali Sultan dan Letkol Soeharto berdiskusi tentang teknik pelaksanaan penarikan tentara Belanda dari Kota Yogyakarta dan masuknya TNI dari luar kota ke Kota Yogyakarta.

Semula Sultan meminta agar diadakan upacara resmi dalam peristiwa Jogja kembali dengan disaksikan oleh perwakilan dari lembaga internasional dalam hal ini UNCI (United Nations Commision for Indonesia). Dalam diskusi itu Letkol Soeharto keberatan jika ada upacara resmi karena sejatinya Yogyakarta tidak sepenuhnya di kuasai oleh tentara Belanda, buktinya tentara Belanda masih kuwalahan menghadapi serangan gerilya TNI dan rakyat, ungkap Lilik.

Baca Juga:  KPU 7 Kabupaten di Sumsel Segera Mutakhirkan DPS

Karena alasan Letkol Soeharto dianggap masuk akal itulah, sehingga Sultan yang saat itu sebagai menteri pertahanan sekaligus orang yang diberi mandat oleh Presiden Sukarno sebagai pemimpin utama di Yogyakarta dengan legowo menurut permintaan Letkol Soeharto dengan tidak adanya upacara resmi peristiwa Jogja Kembali. Karena pentingnya kedua tokoh itulah Lilik sangat setuju apabila dalam pengusulan SU 1 Maret 1949 sebagai hari nasional tanpa mengkultus individukan seorang tokoh, tandas Lilik.

Chaterina Ety,  mengatakan bahwa keberhasilan Serangan Umum 1 Maret 1949 merupakan peristiwa yang sangat penting bagi tercapainya pengakuan kedaulatan bangsa Indonesia. Dalam serangan itu harga diri bangsa yang pernah dijajah bertahun-tahun oleh Barat  tegak kembali. Selama ini setelah agresi belanda II itu, Belanda berkoar-koar di dunia internasional bahwa Indonesia sudah habis, sudah dihapuskan dari peta sehingga tidak mungkin akan bangkit kembali. Apalagi  para pemimpinnya sudah ditangkap dan diasingkan yang jauh dari orang-orang yang dipimpinnya, ungkap Rina.

Belanda menjadi terpukul di dunia internasional karena ternyata serangan-serangan gerilyawan setelah agresi Belanda II itu begitu merepotkan tentara Belanda. Memang sebelum serangan 1 Maret TNI beserta rakyat telah melancarkan serangan kecil-kecilan sebanyak 4 kali dan karena serangan dilakukan dengan cara gerilya yakni menyerang dengan tiba-tiba di pos-pos penting Belanda kemudiaan menghilang dengan cepat maka banyak korban di pihak tentara Belanda.

Baca Juga:  Tingkatkan Destinasi Wisata Sumsel

Keberhasilan Serangan Umum 1 Maret 1949 itulah yang membuat para diplomat Indonesia “memainkan kartunya” sehingga terjadi perjanjian Roem-Royen yang berujung pada peristiwa Jogja Kembali, pungkas  Rina.

Diakhir diskusi yang dipandu oleh M. Thowaf Zuharon dan disiarkan secara zoom meeting itu menyimpulkan pertama, SU 1 Maret 1949 adalah salah satu titik strategis mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Kedua, keberhasilan SU 1 Maret 1949 berhasil membongkar kebohongan Belanda kepada dunia. Ketiga, menyetujui penetapan SU 1 Maret 1949 sebagai hari bersejarah nasional dengan nama Hari Penegakan Kedaulatan Negara tanpa mengkultusindividukan tokoh-tokoh tertentu. Empat, tidak mendegradasi peran strategis Jenderal Soedirman, Sultan HB IX, dan Letkol Soeharto menjadi tokoh sentral dengan dukungan TNI dan rakyat dalam SU 1 Maret 1949. Kelima, lebih mengintensifkan sosialisasi pengetahuan dan pemahaman sejarah mengenai SU 1 Maret 1949 melalui pendidikan dari bangku SD sampai Perguruan tinggi.#osk

Komentar Anda
Loading...