Kaum Difabel Pun Punya Cita-cita
SETIAP orang, termasuk kaum difabel memiliki cita-cita. Harapan meraih impian merupakan hak azasi manusia. Namun, sejumlah kebijakan di bidang pendidikan justru membatasi impian-impian itu.
Salah satunya pelarangan kaum difabel mendaftar SNMPTN. Kebijakan ini sangat disesalkan oleh sejumlah pihak. Impian kaum difabel terkubur seiring adanya kebijakan ini.
Seperti diungkapkan April Rinaldi (19 tahun). Penyandang tunagrahita ringan ini sedih jika Perguruan Tinggi (PT) tidak dapat menerimanya. Meski mengalami hambatan mental, ia ingin sekali kuliah dan menjadi seorang guru bagi siswa penyandang cacat lainnya.
Cita-citanya menjadi seorang guru tidak berlebihan. Pasalnya anak pertama dari dua bersaudara ini bisa mengajar para siswa yang memang senasib dengannya.
“Iya mau jadi guru. Terus mau juga jadi sopir kereta (masinis-red). Meskipun belum tahu jadi guru apa yang penting cita-cita jadi guru bisa tercapai. Tapi, kalau dibatasi PT tidak bisa menerima kami yang memiliki kekurangan, saya tak tahu apakah keinginan saya bisa terwujud atau tidak,” katanya, ketika dibincangi BeritaPagi, di YPAC Sukatani, Palembang, Kamis (13/3).
Di balik kekurangannya, siswa kelahiran 1995 ini memiliki kelebihan. Misalnya, bisa menghasilkan suatu kerajinan yang dapat menghasilkan uang. Meski dalam pengerjaan dilakukan bersama-sama dengan temannya di sekolah.
“Memang sudah lama saya mengalami ini. Tapi saya tak sedih, saya tetap bersyukur karena di balik kekurangan ini saya juga punya kelebihan dan itu cukup membanggakan buat saya sendiri,” jelas siswa yang masih duduk di bangku SMA ini.
Kepala Sekolah Luar Biasa (SLB) Tunagrahita Sedang (C1) Drs H Masyur Ofanda, mengatakan, mereka yang mengalami tunagrahita baik ringan maupun sedang tidak lagi mengikuti Ujian Nasional (UN). Itu sesuai peraturan dari Kementerian, pasalnya kemampuan IQ-nya rendah.
“Tidak ada UN, karena IQ mereka 25-50. Jadi hanya ujian sekolah saja dan jadwal menyesuaikan dengan sekolah umum. Untuk siswa SMA di sekolah kita ada sepuluh siswa dan itu baru sampai kelas XI, karena untuk tingkat menengah atas baru dibuka dua tahun ini,” jelasnya.
Ia menambahkan, bagi siswa penyandang tunagrahita sedang ini hanya belajar mampu latih dan 55 persen keterampilan, sehingga mereka diberi materi Activiting Delling Leving (ADL). Mereka diajarkan untuk dapat bersosialisasi, menolong masyarakat, bisa mengenal lingkungan dan ada pelajaran menolong diri sendiri.
“Kalau pun mereka banyak yang tidak bisa diterima di PT karena memang ada persyaratannya seperti itu, ya saya harap untuk anak-anak berkebutuhan khusus ini bisa menikmati juga di PT sesuai kemampuan dan karakter yang dimilikinya,” harapnya.
Sementara itu, Wakil Kepala SLB Tunagrahita Ringan (C) Kadiyar SPd, menambahkan tunagrahita ringan berbeda dengan tunagrahita sedang. Mereka yang mengalami tunagrahita ringan memiliki kemampuan IQ 50-70. Untuk itu mereka belajar mampu didik seperti 3M membaca, menghitung, dan menulis.
“Memang mereka tidak mampu mengikuti program pendidikan di sekolah reguler. Namun memiliki kemampuan yang masih dapat dikembangkan melalui pendidikan meskipun hasilnya tidak maksimal,” pungkasnya. #rio adi pratama