
Palembang,BP- Sebuah naskah kuno berusia hampir dua abad yang memuat ajaran tauhid Islam menjadi perhatian utama dalam Kajian Reboan berjudul Identifikasi dan Deskripsi Naskah Ummul Barahin , Tulisan Masayu Amleha oleh Program Pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang, Rabu (19/11/2025).
Naskah tersebut, yang kemudian diberi judul “Ummul Barahin (Terjemah dan Syarah)”, merupakan salinan dari karya Imam ash-Sanusi yang ditulis tangan oleh seorang perempuan Melayu Palembang, Masayu Amleha (Maleha).
Menurut dosen Fakultas Adab dan Humaniora (Fahum) UIN Raden Fatah Palembang Dr. Bety, S.Ag., M.A, naskah ini tidak memiliki judul. Biasanya dalam kolofon tercantum judul naskah. Namun dalam naskah ini hanya ditemukan nama penulis dan tahun naskah ditulis, namun tidak ditemukan judul naskah.
Namun naskah ini sudah di digitalisasi oleh Dreamsea tahun 2018.
“Dilihat dari isi naskah, naskah ini merupakan salinan ke bahasa arab melayu dari kitab Ummul Barahin yang ditulis oleh Imam ash- Sanusi yang berbahasa arab, maka naskah ini kami beri judul Ummul Barahin (Terjemah dan Syarah),”katanya.
Naskah Ummul Barahin (Terjemah dan Syarah) ini menurutnya tersimpan di lemari khusus di rumah Masagus Aminuddin yang merupakan suaminya sejak tahun 1983. Naskah ini dibungkus rapi di dalam kantong plastik dan diletakkan dalam lemari bersama koleksi buku beliau lainnya di rumahnya dengan kondisi dan suhu udara yang cukup baik.
“Saya juga nanti bertanya dengan Ustad Andi apakah namanya Amleha atau Maleha yang ustad Andi berada di Lorong Kapuran, kitab ini memang di Lorong Kapuran dan saya sudah bertanya dengan keluarga belum jelas juga siapa sebenarnya Masayu Amleha atau Masayu Maleha ini , apakah dia seorang ulama atau sekadar menulis atau seperti apa sosok dari penulis ini,”katanya.
Selain itu menurutnya karena naskah ini sudah berusia hampir 200 tahun dalam kondisi naskah yang cukup baik dan masih utuh sehingga bisa dibaca dengan jelas.
“Yang lebih menarik lagi adalah penulis naskah ini adalah seorangperempuan Melayu Palembang asli yaitu Masayu Amliha dengan tulisan tangan yang sangat rapi. Begitu juga ukuran yang berbeda dengan naskah lain dengan ukuran tinggi 32,8 cm dan lebar 21 cm. Adapun Rumusan masalah dalam tulisan ini adalah bagaimanakan analisis konten terhadap naskah UmmulBarahin (Terjemah dan Syarah),”katanya.
Naskah ini menurutnya , kondisinya terbilang sangat baik—sekitar 98% utuh—meskipun terdapat sedikit kerusakan pada sampul dan bagian bawah beberapa halaman akibat usia dan kitab ini menurutnya mengandung nilai-nilai luhur tentang ketauhidan yang tetap relevan bagi kehidupan beragama masyarakat modern.
Naskah ini menurutnya menggunakan aksara Arab Melayu (Jawi) dengan tinta hitam dan merah. Tulisan merah dipakai untuk menandai kata penghubung, shalawat, serta penjelasan tentang Sifat Dua Puluh. Kerapian tulisan tangan Masayu Amliha menjadi salah satu keistimewaan naskah ini: margin kanan, kiri, atas, dan bawah sangat presisi layaknya hasil ketikan komputer.
Berdasarkan watermark pada lembar terakhir, kertas yang digunakan adalah kertas Eropa. Naskah berukuran 32,8 cm × 21 cm, dengan total 150 halaman yang terbagi menjadi dua bagian:
Bagian pertama (55 halaman): salinan Ummul Barahin beserta terjemahan dan syarah singkat.
Lalu bagian kedua (95 halaman): syarah lengkap karya Muhammad Zayn ibn al-Faqih Jalal al-Din al-Shafi al-Ashi, yang juga disalin ulang oleh Masayu Amliha.
Sedangkan isi Ajaran dalam Naskah, Kajian fokus pada bagian yang membahas tiga hukum akal, yaitu: Wujub: sesuatu yang mustahil tiada (contoh: manusia pasti mati).
Lalu Istihalah: sesuatu yang mustahil ada (contoh: manusia hidup selamanya). Dan Jawaz: sesuatu yang mungkin ada atau tiada (contoh: seseorang mungkin berumur 82 tahun, atau tidak).
Selain itu, naskah menguraikan dua puluh sifat wajib bagi Allah, yang dikelompokkan dalam: sifat Nafsiyah – yakni sifat wujud (ada), Sifat Salbiyah – seperti qidam, baqa’, mukhalafatuhu lil-hawadits, qiyamuhu binafsih, dan wahdaniyah, Sifat Ma‘ani – di antaranya qudrah, iradah, ilmu, hayat, sama’, bashar, dan kalam, Sifat Ma‘nawiyah – keadaan yang melekat pada tujuh sifat ma‘ani, seperti Allah Maha Berkuasa (Qadir), Maha Mengetahui (Alim), dan seterusnya.
“Ajaran-ajaran ini merupakan dasar ilmu tauhid yang wajib diketahui oleh setiap mukallaf, serta menjadi metode klasik para ulama Ahlusunnah wal Jamaah dalam mengenal Allah (ma‘rifatullah). Pembahasan Sifat Dua Puluh yang tersusun dengan sistematis menunjukkan besarnya pengaruh ajaran Imam Sanusi dalam tradisi keilmuan Islam di Nusantara,”katanya.
Ahli Bahasa Arab Melayu dari Pusat Kajian Naskah Melayu UIN Raden Fatah, Ustad Andi Syarifuddin Sag Mag, menjelaskan bahwa naskah ini termasuk salah satu karya paling populer di Palembang.
Banyak salinan naskah serupa ditemukan, menandakan kuatnya tradisi kajian akidah Ahlussunnah wal Jamaah di Sumatera Selatan.
“ Saya juga memiliki Salinan dari Kitab Ummul Barahin ini, karena kitab ini berbicara mengenai akidah ahlul sunnah wal jamaah yang berpedoman kepada Abu Hasan al-Asyʿari dan Abu Manshur al-Maturidi tentunya kitab ini banyak sekali di amalkan , dipegang teguh akidah ini terutama oleh ulama-ulama Palembang dan masyarakat Sumatera Selatan ,”katanya.
Kitab ini menurutnya bernama Bidayatul Hidayah dimana kitab aslinya (matan) namanya Ummul Barohin di karang oleh ash-Sanusi, ulama besar abad ke-15 yang wafat pada tahun 1490.
Matan tersebut kemudian disyarahkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Muhammad Zain bin Fakih Jalaluddin Bin Kamaluddin Aceh , karena asalnya dari Aceh dan ulama Aceh abad 18 dimana beliau wafat tahun 1770 dimana kitab ini diberi nama Bidayatul Hidayah.
“Beliau menamakan syarah itu Bidayatul Hidayah. Syarah ini kemudian tersebar luas di Nusantara dan menjadi rujukan ulama-ulama besar, termasuk Syekh Abdul Somad Al-Palimbani dan Syekh As’ad al-Banjari,” jelas Ustad Andi.
Ia menambahkan bahwa karya-karya Muhammad Zain bin Fakih Jalaluddin Bin Kamaluddin Aceh sangat berpengaruh dan telah beredar dalam banyak salinan, termasuk kitab Kasyful Ghayah serta beberapa karya lain yang jumlahnya mencapai delapan judul.
Yang menjadikan naskah yang dibahas kali ini menarik yaitu fakta bahwa penyalinnya adalah seorang perempuan Palembang, Masayu Amleha.
“Ini menunjukkan bahwa perempuan Palembang pada masa itu juga aktif dalam tradisi keilmuan, terutama dalam penyalinan naskah-naskah keagamaan,” kata Ustad Andi.
Menurut Andi, kitab yang dipegangnya ini berdasarkan cap kertas (water mark) “Pro Patria”, produk diperkirakan dibuat pada abad ke-18, tak lama setelah Muhammad Zain bin Fakih Jalaluddin Bin Kamaluddin Aceh wafat di tahun 1770.
“ Kemungkinan itu banyak di tulis ulang oleh murd-murid Muhammad Zain bin Fakih Jalaluddin Bin Kamaluddin Aceh ini sehinga menyebar dan banyak Salinan-salinannya naskah ini ke berbagai daerah termasuk di Palembang , kalau di ibu Betty ada satu , saya ada satu sudah dua, mungkin yang lain-lainnya ada, sankin pentingnya naskah ini , disalin ulang oleh ulama-ulama kita karena akidahnya sama, akidah ahli sunnah wal jamaah yang berbicara sifat yang wajib bagi Allah SWT, ini sudah menjadi pegangan dan ajaran daripada ulama-ulama Palembang termasuklah Syekh Abdul Somad Al-Palembani mengutip kitab Ummul Barahin ini,, ulama kita banyak mengutip dari kitab ini selain Syekh Abdul Somad Al-Palembani seperti Syekh Muhammad Azhari Bin Abdullah Alpalembani,” katanya.
”katanya. Kitab Ummul Barohin ini menurutnya induk dari segala ilmu yang menjadi pegangan ulama-ulama di Palembang .
Sedangkan pemantik diskusi Dr Muhammad Noupal Sag Mag mengatakan, tujuan pihaknya melakukan kajian ini selain membahas dan mengupas pemikiran -pemikiran ulama-ulama Palembang dan juga menyambung kembali bagaimana khazanah Islam yang ada di nusantara khususnya di Indonesia yang dilihat sebagai rangkaian pemikiran umat Islam secara keseluruhan .#udi