
Tanah dan Hutan Adat di Sumsel Harus Diberikan Pengakuan Melalui Perda

Palembang, BP–Menghidupkan kembali marga sebagai suatu kesatuan organis terbentuk berdasar wilayah, dan juga keturunan, yang kemudian dikukuhkan dengan pemerintahan administratif serta ikatan norma-norma yang tidak hanya berupa adat-istiadat tidak tertulis tetapi juga oleh ikatan berupa aturan dalam diktum-diktum yang tertulis secara terperinci pada kitab Undang-Undang Simboer Tjahaya saat ini sudah tidak mungkin lagi karena strukturnya sudah hancur.
“Yang bisa kita lakukan sisa-sisa tanah marga, itu yang mungkin bisa diajak berunding melalui kebijakan DPRD , DPRD Sumsel khan staf ahlinya sudah banyak ada pak Tarech ada disana , ini bisa di dorong , kerjasama dengan BPN sehingga ini bisa menjadi jalan keluar , karena akar konfliknya berasal dari sana, setelah marga dihapus, ini juga kebijakan orde baru agar dia bisa melakukan ekspansi munculnya MHP , “ kata Dekan Fisif Universitas Sriwijaya (Unsri) Prof Dr Al Fitri Msi sebagai narasumber dalam Seminar Peran Serta Jurnalis Sebagai Pioner Pengawal Kebijakan Ketua GTRA Sumsel Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial di Provinsi Sumsel tahun 2022 di aula Kantor ATR/BPN Sumsel, Selasa (11/1)
Untuk itu menurutnya lebih baik melakukan kompromistis untuk bisa memberikan pengakuan hutan-hutan adat ini melalui cara lain mungkin melalui Peraturan Daera (Perda).
“Kita dorong para korporasi perusahaan ini bisa memberikan kontribusi kesejahteraan jangan melalui CSR , plasma itu bukan jawaban, dia sudah monopoli besar, adalah tekanan negara untuk memberikan sebagian itu sehingga di rangkul masyarakat, tidak menjadi penghisab, karena hadirnya korporasi ini proses pemiskinan luar biasa ditambah lagi narkoba , terutama di desa-desa ekspasi perusahaan perkebunan ini,” katanya.
Pihaknya mendesak agar presiden mendorong kepada korporasi besar ini agar bisa berbagi dengan masyarakat.
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumsel, Pelopor mengatakan, pihaknya akan terus menangani kasus-kasus yang sudah dilapor kepada Kantor BPN Sumsel sehingga menjadikan Sumsel menjadi zero konflik agraria.
“Kami akan terus berusaha menangani kasus-kasus yang sudah masuk dan itu akan cepat ditangani dengan sebaik mungkin, menuju zero konflik agraria di Sumsel,” katanya.
Karena itu, pihaknya meminta agar BPN perwakilan kabupaten dan kota di Sumsel untuk terus melaporkan segala persoalan-persoalan yang terjadi. Bahkan, ia juga meminta kepala daerah berkoordinasi dengan para kepala desa.
“Soal permasalahan mafia tanah dan persoalan-persoalan lainnya saya minta BPN kabupaten dan kota terus melaporkan kepada BPN provinsi. Ini juga harus melibatkan kepala desa,” katanya.
Ketua Gerbang Tani Sumsel, Anwar Sadat mengatakan, konflik lahan itu harus selesai untuk keadilan bagi rakyat.
“Dari jumlah sengketa lahan yang ada secara perlahan harus bisa diselesaikan tapi itu harus ada indikator untuk diselesaikan walaupun tidak maksimal minal standarnya cukup terlihat,” katanya.
Dan itu menurutnya harus menjadi suatu komitmen dan tanggungjawab terhadap kasus sengketa lahan ini.
“Berkaitan kasus ini harus ada data , kemudian ini di proyeksikan berapa lama tuntas dna itu kemudian hasilnya harus ada penuntasan untuk keadilan,” katanya.
Ketua PWI Sumsel Firdaus Komar menilai bagaimana posisi wartawan bisa memberikan suara-suara kebenaran di masyarakat.
“Bagaimana kita melakukan fungsi pers yang sudah tertera didalam UU No 4o tahun 1999 tentang pers yang paling penting fungsi kontrol sosial,” katanya.
Selain itu pers memandang konflik agraria dilakukan pemerintah saat ini sudah ada kemauan politik terkait sengketa lahan hanya saja korporasi lebih mendominasi dengan alasan investasi, ekonomi .
“Karena kekuatan tanah ada di ekonomi yang menjadi korban masyarakat, “ katanya.
Sedangkan Rosidin Hasan, Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesra Pemprov Sumsel, mewakili Gubernur Sumsel H Herman Deru saat membuka seminar tersebut menilai banyaknya konflik agraria di Sumsel, diketahui karena banyak ditemukannya saling klaim hak dari masing-masing pemilik tanah yang terkadang memiliki surat yang tak jelas asal usulnya.
“Yang banyak ditemukan ya saling klaim hak, inilah yang menjadi pemicu konflik,” katanya.
Dikatakannya, konflik agraria ini sebenarnya menjadi permasalahan yang sangat mudah dan seringkali terjadi khususnya di kabupaten/kota di Sumsel.
Penyebabnya, karena pihak satu dengan yang lainnya berbeda pendapat dan saling klaim.
“Penyebabnya karena sering tidak klop dan silang pendapat,” tambahnya.
Untuk itu, Rosidin berharap dengan adanya peran jurnalis dapat membantu untuk mendamaikan dan menjadi solusi agar dapat memberikan solusi atas permasalahan tersebut.
Peran jurnalis ya di sini dapat membantu mengawal semaksimal mungkin,” tandasnya
Sementara itu, salah satu perwakilan Forum Jurnalis Reforma Agraria( FJRA ) Andrian berharap dari seminar ini dapat mengedukasi kepada rekan rekan media apa itu Reforma Agraria, Aset Reform dan Akses Reform serta akan mendorong Pemerintah Daerah bersama DPRD Provinsi dan Kabupaten Kota agar adanya produk hukum di Provinsi Sumsel terkait UUPA 1960 dan PP 86 sejenis Perda maupun Pergub, Perbup, Perwali terkait lahan terlantar dan penanganan konflik Agraria.#osk