H Budiarto Marsul , Cucu Pejuang dan Pasirah dari Tanjung Sakti

372
BP/DUDY OSKANDAR
Ketua Komisi I DPRD provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) H Budiarto Marsul

Palembang, BP
Ketua Komisi I DPRD provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) H Budiarto Marsul ternyata adalah cucu seorang pejuang sekaligus seorang Pasirah di daerah yang bernama Tanjung Sakti yang kini menjadi Kecamatan Tanjung Sakti, kota Pagaralam.
“ Nenek bapak saya itu namanya Amat adalah seorang Pembarat (wakil pasirah),” kata Budiarto memulai kisahnya, saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (23/7).
Menurut politisi Partai Gerindra ini, pada masa Agresi Militer II. Agresi militer ke-II untuk wilayah keresidenan Palembang di mulai pada bulan Januari 1949.
Para pemimpin militer maupun sipil mengundurkan diri ke daerah yang aman dari serbun Belanda. Pusat pemerintahan sipil yang tadinya berada di Curup dipindahkan ke Tanjung Sakti. Abdul Rozak selaku Residen Palembang ikut berpindah ke Tanjung Sakti bersama staf pemerintahan sipil lainnya, diantaranya Bupati Amaluddin, Wedana Ibrahim, Wedana Wani, dll. Meskipun berada jauh dari kota Palembang, namun aktivitas pemerintahan sipil di keresidenan Palembang tetap dapat berjalan

BP/IST
Residen A Rozak

“Yang memimpin ke Tanjung Sakti itu Residen Palembang  Residen Abdul Rozak, aku waktu itu  belum lahir, baru 10 tahunnya setelah , tahun 1949, atau tahun 1959 aku baru lahir, aku dapat cerita ini  dari nenek dan orangtua aku, tapi rumah tempat aku dilahirkan, jadi tempat pak Residen A Rozak Rasyad Nawawi tinggal,” kata mantan Wakil Walikota Pagaralam ini.

Budiarto ingat betul dari cerita orangtua dan neneknya selain Residen  A Rozak, ada juga Sidi Ading , Bambang Utoyo waktu mereka ikut mundur ke Tanjung Saksi, Pasemah Air Keruh.
Menurut Budiarto para pejuang ini hidupnya berpindah pindah dan kadang menetap antara 2 minggu hingga 1 bulan.
“ Kebetulan rumah nenek saya itu ada dua. Dulu bapak saya dulu jadi pesuruh, bapak aku juga pejuang juga , jadi pesuruh antar makan, minuman jadi kurir, kalau nenek aku dulu jadi wakil pesirah dan yang jadi pasirah masih besan nenek aku juga ,” katanya.
Budiarto ingat bagaimana masyarakat Tanjung Sakti yang sangat luar biasa membantu para pejuang ini dari bahan makanan, padi, kopi, sayuran dibantu dengan gotong royong.
“Di Tanjung Sakti itu ada dua marga, Pumu (basis pertahanannya di Desa Batu Rancing dan ) dan Pumi (Simpang tiga), selain itu basis pejuang kita ada juga di Padang Petai, Tanjung Kurung. Pak Residen A Rozak itu yang memimpin pemerintahan sipil Sumsel itu langsung di rumah nenek saya,” katanya .
Selain itu menurut Budiarto, kawasan Tanjung Sakti dulu dikenal sebagai tempat persembunyian para pejuang , sedangkan lokasi konfrontasi dengan Belanda maju ke arah Bumi Agung wilayah Pagaralam.
Malahan di rumah neneknya tersebut, Budiarto menjelaskan , Residen Abdul Rozak memerintahkan pembuatan/pencetakan uang kertas darurat, yang dikenal dengan nama OERIP (Oeang Kertas Republik Indonesia Palembang).
Uang kertas yang dicetak ini dikenal sebagai DPDP (Dewan Pertimbangan Daerah Palembang).
“Orang Tanjung Sakti itu punya sifat pejuang sampai sekarang banyak orang Tanjung Sakti berhasil , Tanjung Sakti itu kecil tapi luar biasa, Walikota Palembang orang Tanjung Sakti, Sekda Palembang orang Tanjung Sakti, anggota DPRD Sumsel sekarang banyak orang Tanjung Sakti, belum di DPRD Palembang ada orang Tanjung Sakti juga,” katanya.
Walaupun sempat berkonfrontasi dengan Belanda, namun warga Tanjung Sakti menurut Budiarto sangat toleran dengan umat lain terbukti gereja tertua di Tanjung Sakti tidak usik warga.
“Gereja tidak pernah kita usik di situ tapi Muhammadiyah juga berkembang dengan baik disitu, banyak sekolah Muhamadiyah disitu,” katanya.
Dalam catatan sejarah, peran Residen Palembang Abdul Rozak pada masa Agresi Militer II. Agresi militer ke-II untuk wilayah keresidenan Palembang di mulai pada bulan Januari 1949
. Para pemimpin militer maupun sipil mengundurkan diri ke daerah yang aman dari serbun Belanda. Pusat pemerintahan sipil yang tadinya berada di Curup dipindahkan ke Tanjung Sakti. Abdul Rozak selaku Residen Palembang ikut berpindah ke Tanjung Sakti bersama staf pemerintahan sipil lainnya, diantaranya Bupati Amaluddin, Wedana Ibrahim, Wedana Wani, dll.
Meskipun berada jauh dari kota Palembang, namun aktivitas pemerintahan sipil di keresidenan Palembang tetap dapat berjalan. Beberapa langkah penting dilakukan oleh Abdul Rozak, diantaranya menginstruksikan kepada pegawai negeri sipil yang ada di keresidenan Palembang, terutama pada daerah-daerah yang diduduki Belanda untuk tidak memberikan bantuan dan kerjasama dengan pihak Belanda.
Kedua, mengkoordinir dan membangkitkan semangat rakyat agar terus berjuang dan melawan Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia.Perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia itu bukanlah hal yang mudah. Satu sisi banyaknya wilayah yang dikuasai Belanda telah membuat pihak militer berusaha untuk tetap mempertahankan bahkan merebut kembali daerah-daerah yang sudah diduduki Belanda. Disisi lain kesulitan ekonomi juga dirasakan oleh rakyat di keresidenan Palembang.
Salah satu penyebab kesulitan ekonomi tersebut adalah tidak adanya alat tukar jual beli atau mata uang. Mengatasi masalah tersebut Residen Abdul Rozak memerintahkanpembuatan/pencetakan uang kertas darurat, yang dikenal dengan nama OERIP (Oeang Kertas Republik Indonesia Palembang). Melaksanakan tugas pencetakan uang ini diserahkan kepada Kapten Rusnawi dibantu oleh Letnan Nur Mahadam,sedangkan tempat pembuatannya di rumah Kiagus Kosim bin Kiagus Thaib di dusun Pasar Lame – Tanjung Sakti. Uang kertas yang dicetak ini dikenal sebagai DPDP (Dewan Pertimbangan Daerah Palembang).
Sementara itu perjalanan dan perjuangan dalam menghadapi Agresi Militer Belanda tetap dihadapi dengan semangat pantang menyerah meskipun tawaran untuk bergabung atau bekerjasama dengan Belanda selalu diberikan oleh Belanda.
Perjuangan dan pengaturan pemerintahan dilakukan secara bergerilya oleh Abdul Rozak bersama-sama dengan pimpinan militer. Kebersamaan ini merupakan suatu cerminan bersatunya sipil dan militer dalam membela kepentingan negara.
Selama masa Agresi Militer II ini, para pemimpin bangsa bahu membahu dan bersatu untuk selalu menggelorakan semangat anti penjajahan.
A.K Gani sebagai seorang orator yang ulung berkeliling wilayah Sumatera Selatan untuk membangkitkan semangat perjuangan nasionalisme dan patriotisme dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Sebaliknya Abdul Rozak sebagai seorang administrator yang berpangalaman sejak zaman Belanda, melibatkan diri dalam pengaturan birokrasi di keresidenan Palembang. Belanda menyadari sepenuhnya peran kedua tokoh ini dan tokohtokoh militer lainnya, oleh karena itu Abdul Rozak termasuk tokoh yang dincar oleh Belanda untuk disingkirkan atau ditangkap.
Bagi Belanda Rozak mempunyai andil yang besar dalam menggerakkan roda pemerintahan dan sangat disegani dan dipatuhi oleh rakyat di Sumatera Selatan, sehingga apabila Abdul Rozak dapat disingkirkan maka pemerintahan di Sumsel akan terhenti.
Setelah perjanjian Komisi Meja Bundar (KMB), maka pihak Belanda menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah RI. Dalam hal penyerahan kekuasaan pemerintahan untuk wilayah keresidenan Palembang, dilakukan di Pagar Alam pada 17 Desember 1949 yang diterima oleh Residen Abdul Rozak,sedangkan urusan militer diterima oleh Kapten Rasyad Nawawi.
Menilik dari perjuangan Residen Abdul Rozak tersebut, maka wajarlah jika Presiden RI pertama Ir. Soekarno memberikan Bintang Mahaputra Utama. Suatu tanda kehormatan yang diberikan oleh negara kepada putra terbaik bangsanya yang telah berjuang dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan RI tanpa pamrih dan tidak pernah menyerah.#osk

Komentar Anda
Loading...