Konsep Penataan Bukit Seguntang Harus Jelas, Perlu Ada Koordinasi Antar-Instansi

68
BP/IST Suasana Forum Pariwisata Dan Budaya Sumatera Selatan (Forwida) menggelar FGD Konservasi dan Revitalisasi Bukit Siguntang di Ruang Rapat Sumeks Lantai 2, Palembang, Rabu (30/10).

Palembang, BP–Pasca penyerahan aset Bukit Seguntang, Palembang dari pemerintah pusat, dalam hal ini Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI, kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan diwakili Sekda Sumsel H Nasrun Umar pada 12 Maret 2019, maka pengelolaan dan penataan Bukit Seguntang perlukan disegerakan.
Sebelumnya Bukit Seguntang menjalan rehab oleh pihak Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, namun para sejarawan dan arkeolog menolak rehab Bukit Seguntang tanpa kajian yang telah merusak Bukit Seguntang itu sendiri oleh oknum pihak Pemprov Sumsel kala itu atas nama kepentingan proyek pembangunan.
Untuk itu Forum Pariwisata dan Budaya Sumatera Selatan (Forwida) menggelar FGD Konservasi dan Revitalisasi Bukit Siguntang di Ruang Rapat Sumeks Lantai 2, Palembang, Rabu (30/10).
Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Sumsel Fitriana, S.Sos, M.Si Fitriana mengatakan, kalau penataan Bukit Siguntang kedepan pihaknya menunggu hasil rekomendasi FGD ini.
“Permintaan dari pak Kadis Disbudpar Sumsel, agar Bukit Seguntang ini di FGD kan dulu supaya tidak ada pro dan kontra lagi, tidak ada ribut-ribut lagi, kita perlu duduk bersama saling mengisi dan bersinergi harus berbuat apa dan harus diapakan kedepan,” katanya.
Selain itu menurutnya, Sumsel sudah memiliki peraturan daerah (Perda) No 4 tahun 2015 tentang pelesatrian kebudayaan daerah yang diakuinya belum tersosialisasikan dan perlu di sosialisasikan hingga ke bawah.
Menurutnya, Bukit Seguntang sebagai sejarah budaya dan hulunya pariwisata.
“FGD Revitalisasi dan Konservasi Bukit Seguntang ini diharapkan bisa menghasilkan masukan sangat berarti bagi dinas pariwisata dan dapat menghasilkan program-program kerja dinas pariwisata,” katanya.
Dalam kesempatan tersebut pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumsel meluruskan bahwa nama Bukit Siguntang yang benarnya adalah Bukit Seguntang Mahameru, yang bermakna mengapung, atau pulau yang mengapung.
Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) IV, Djayo Wikramo, RM Fauwaz Diraja, SH, Mkn meminta agar ada kejelasan konsep apa yang mau ditonjolkan untuk pariwisata di Palembang terutama konsep penataan Bukit Seguntang.
“Bukit Seguntang itu hulunya melayu/asal mulanya melayu, itu yang harusnya kita tonjolkan,” katanya.
Fauwaz juga mendukung upaya penataan Bukit Seguntang seperti di Kucing, Malaysia, menjadi Cultural Village Bukit Seguntang.
Sejarawan Sumsel Syafruddin Yusuf menilai Bukit Seguntang Mahameru bagi pelaku sejarah memiliki arti di tiga dimensi waktu yang diperhitungkan, jika berbicara sejarah masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
“Bukit Seguntang itu bukit tertinggi di Palembang, dari beberapa sumber, kata Seguntang asal katanya Seguntang: terapung,” katanya.
Selain itu ada dua tempat tertinggi di Palembang, Seguntang dan Mahameru (gunung meru di Plaju) .
“Orang-orang melayu menganggap Bukit Seguntang adalah leluhur mereka. Temuan arca, prasasti. Catatan Pak Raden Akib ada penemuan prasasti ddi salah satu perahu bidar yang selalu menang,” katanya.
Selain itu, dosen sejarah Universitas Sriwijaya (Unsri), ini menilai perlu adanya koordinasi antara dinas terkait dan instansi terkait dalam pengelolaan Bukit Seguntang, termasuk seluruh cagar budaya yang ada di Sumsel.
“Kedua penegakan hukum harus jelas. Selama ini terkesan pemerintah daerah yang melanggar perda, khan lucu jadinya. Perlu adanya koordinasi agar bisa sejalan,” katanya.
Selain itu, menurutnya, perlu diberikan situs-situs sejarah untuk informasi yang benar, jangan karena ada kepentingan pihak tertentu itu yang ditonjolkan.
“Seperti Pulau Kemaro, pagoda itu bangunannya baru, sebetulnya pada saat perang Palembang tahun 1821 itu Pulau Kemaro itu merupakan benteng terkuat, kenapa dalam informasi yang disampaikan itu justru dongeng legenda Tan Bun An, padahal kalau Pulau Kemaro itu tidak jebol oleh Belanda, Belanda tidak bisa masuk Palembang. Setelah Pulau Kemaro dijebol baru Belanda bisa masuk ke Palembang,” katanya.
Pembina Forwida, Toni Panggarbesi mengharapkan goal dari FGD ini harus diketahui terlebih dahulu terutama Bukit Seguntang dilihat dari dimensi sejarahnya, yaitu pusat belajar Agama Budha.
“Dimensi peninggalan sejarahnya, perlu digambarkan, revitalisasi dengan berapa peninggalan sejarah. Setiap karakter peninggalan sejarah punya ciri tersendiri. Bagaimana menata kembali sejarah untuk merekomendasi kepada pemerintah apa yang perlu dirumuskan dan hasil FGD dirumuskan kembali agar menjadi rekomendasi kepada pemerintah,” katanya.
Ketua Umum Forwida Diah K Pratiwi mengatakan, dengan penyimpangan pembangunan di Bukit Seguntang sangat disesalkan namun tidak bisa kita menyalahkan saja, karena itu tidak menyelesaikan masalah.
“FGD hari ini merumuskan bagaimana tindakan-tindakan penyelamatan yang bisa masih bisa kita lakukan semaksimal mungkin. Setelah FGD ini akan digelar seminar nasional Konservasi dan Revitalisasi Bukit Siguntang. Setelah idul fitri tahun 2020, sekitar bulan Juli, kita akan mengundang narasumber dari luar dan hasilnya akan diberikan sebagai masukan ke Pemprov Sumsel mau diapakan Bukit Seguntang,“ katanya.#osk

Komentar Anda
Loading...