
Kepada jajaran direksi dan Pengawas BPJS Kesehatan, Fahri mengatakan, data yang dikeluarkan BPS tentang jumlah orang miskin, berbeda dengan data di BPJS Kesehatan tentang coverage, juga berbeda dengan di Depkes. Karena itu, DPR meminta penjelasan secara teknis, khususnya terkait dengan BPJS Ketenagakerjaan.
“Kami ingin mendengar ke arah integrasi itu, apakah ada. Karena apa pun ini, under line-nya adalah universal coverage yang sebetulnya satu warga negara punya satu identitas saja, apakah itu kesehatan atau ketenagakerjaan,” tanya Fahri.
Dirut BPJS Ketenagakerjaan Agus Sustanto menjelaskan, dana dialokasikan sesuai yang telah diatur regulasi. Setidaknya BPJS Ketenagakerjaan telah menempatkan ke obligasi, reksadana, deposito dan penyertaan investasi lainnya. “Investasi selalu laporkan ke pihak terkait, sesuai regulasi ke ojk, presiden. Hasil audit dipaparkan di publis di website,” katanya seraya menambahkan, investasi tersebut secara tidak langsung, namun melalui sebuah instrumen.
Dikatakan, infrastruktur BPJS Ketenagakerjaan tidak investasi langsung. Misalkan, ada investasi ke tol Sumatra, ya gak langsung, tapi beli surat beharga yang diterbitkan lembaga. Jadi instrumennya yang dibeli.
Menurut Fahri, sebenarnya BPJS memiliki keterbatasan antar departemen atau kelembagaan sehingga ruang geraknya agak sempit. Karena itu, ia mengusulkan untuk membuat rapat lebih lengkap dengan mengundang beberapa pihak terkait. “Rapat lengkap nanti untuk mengkerangka keseluruhan dari temuan dan persoalan, mulai dari persoalan regulasi dari kelembagaan. Bila perlu kita undang dari Kementeian Hukum dan HAM, untuk mengetahui apakah sebuah lembaga yang diciptakan oleh Unddang-Undang seperti BPJS itu tidak punya hak regulasi sendiri sedemikian rupa kok menunggu begitu lama, sehingga tidak jadi-jadi barang itu,” paparnya. #duk