DPR Minta Pemerintah Waspada Terhadap Manuver Freeport

Anggota Komisi VII DPR RI Harry Purnomo menyatakan, pemerintah harus tetap waspada terhadap manuver PT Freeport. Perusahaan tambang dari AS ini, tidak mungkin mengikuti langkah pemerintahm, termasuk tawaran divestasi 51%, tetap akan ditolak.
“Kita beri dukungan kepada pemerintah, tapi bukan tanpa koreksi. Meski tak ada pasal yang dilanggar, tapi pemerintah dianggap tidak konsisten. Makanya jalan terbaik mencari solusi,” kata Harry Poernomo di ruangan wartawan DPR Jakartam Kamis (23/2) dalam diskusi Freeport Kebijakan Pemerintah dan Ancaman Korporasi..
Harry memperkirakan Freeport tidak membutuhkan Smelter. Karena pembangunan smelter dianggap mahal dan tidak efisien. Bahkan membangun smelter itu beban bagi Freport. Namun begitu, pemerintah bisa menawarkan win-win solution, mengajak juga BUMN dalam pembangunan smelter. “Jadi solusi secara ekonomi begitu. Ada patungan antara Freeport dan BUMN. Nanti, biayanya dihitung untuk divestasi,” tambahnya.
Menurut Harry, tawaran divestasi pemerintah tetap harus diwaspadai. Karena untuk membeli saham Freeport tidak murah. “Itukan harus dibayar, bukan gratis. Jangan sampai untuk membayar saham itu, berasal dari pinjaman yang sumbernya tidak jelas. Artinya, uangnya dari potensi utang lagi,” tutur Harry.
Diakui Harry, hingga saat ini belum ada komunikasi antara pemerintah dengan DPR. Karena pemerintah merasa masih kuat menghadapi Freeport. Begitupun dengan masalah skema gross split, DPR juga tak pernah diajak bicara. “Pemerintah terlalu percaya diri, sehingga merasa tidak perlu mengajak DPR bicara,” paparnya.
Disisi lain, lanjut Harry, pihaknya belum bisa menerka kalau langkah pemerintah menghadapi arbitrase kalah. Semangat menegakkan kedaulatan memang harus dilakukan. Namun tetap harus berhitung. “Kita belum tahu resikonya, tapi kalau soal bisnis, mudah dicarikan penyelesaiannya,” tuturnya.
Harry menyarankan pemerintah menghormati kontrak karya hingga 2021. Setelah kontrak karya itu habis tak perlu lagi diperpanjang. “Inikan tinggal 4 tahun. Seperti yang terjadi pada blok Migas Mahakam. Ya, kalau mau diperpanjang lakukan lelang terbuka, sehingga jadi fair,” jelasnya.
Harry memperkirakan Freeport tidak membutuhkan Smelter. Karena pembangunan smelter dianggap mahal dan tidak efisien. Bahkan membangun smelter itu beban bagi Freport. Namun begitu, pemerintah bisa menawarkan win-win solution, mengajak juga BUMN dalam pembangunan smelter. “Jadi solusi secara ekonomi begitu. Ada patungan antara Freeport dan BUMN. Nanti, biayanya dihitung untuk divestasi,” tambahnya.
Menurut Harry, tawaran divestasi pemerintah tetap harus diwaspadai. Karena untuk membeli saham Freeport tidak murah. “Itukan harus dibayar, bukan gratis. Jangan sampai untuk membayar saham itu, berasal dari pinjaman yang sumbernya tidak jelas. Artinya, uangnya dari potensi utang lagi,” tutur Harry.
Diakui Harry, hingga saat ini belum ada komunikasi antara pemerintah dengan DPR. Karena pemerintah merasa masih kuat menghadapi Freeport. Begitupun dengan masalah skema gross split, DPR juga tak pernah diajak bicara. “Pemerintah terlalu percaya diri, sehingga merasa tidak perlu mengajak DPR bicara,” paparnya.
Disisi lain, lanjut Harry, pihaknya belum bisa menerka kalau langkah pemerintah menghadapi arbitrase kalah. Semangat menegakkan kedaulatan memang harus dilakukan. Namun tetap harus berhitung. “Kita belum tahu resikonya, tapi kalau soal bisnis, mudah dicarikan penyelesaiannya,” tuturnya.
Harry menyarankan pemerintah menghormati kontrak karya hingga 2021. Setelah kontrak karya itu habis tak perlu lagi diperpanjang. “Inikan tinggal 4 tahun. Seperti yang terjadi pada blok Migas Mahakam. Ya, kalau mau diperpanjang lakukan lelang terbuka, sehingga jadi fair,” jelasnya.
Komisioner Indonesia Mineral Watch (IMW) Ferdinand Hutahayan menilai sejak awal freeport sangat berkuasa karena menggunakan sistim kontrak karya seperti diatur dalam pasal 31, freeport bisa memperpanjang kontrak kapan saja.
Menurut Ferdinand, di era SBY perpanjangan kontrak Freport sampai 2021 dan di era Jokowi, menteri Sudirman Said muncul masalah. “Jadi, pemerintah gagal paham soal freeport yang membutuhkan kepastian hukum. Dengan PP No. 21/2017 tentang IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus), freeport menolak membangun smelter karena dianggap tak jelas, dan tetap berpegangan kepada kontrak karya. “Kontrak karya ini lex specialist sehingga tak bisa diintervensi dengan aturan lain. Pemerintah tidak konsisten dengan UU Minerba yang tak mengharuskan membangun smelter,” paparnya.
Karena itu kata dia, nasionalisasi Freeport jangan sampai melanggar hukum dan mengganggu investasi lain. Pemerintah di posisi dilema; maju kena, mundur kena. Sehingga solusi terbaik mengeluarkan Perppu terkait larangan ekspor konsentrat di IUPK. #duk